Empat Puluh Lima

271 27 0
                                    

Kaelyn memeluk erat Milky di depan pintu keberangkatan luar negeri. Ia sedih harus berpisah kembali dengan sepupunya. Walaupun ia dan Milky sering meributkan hal yang tidak penting, sesungguhnya Kaelyn sangat menyayangi sepupunya tersebut. Milky itu frenemy-nya, love-hate relationship-nya.

"Liburan semester depan, giliran kamu yang ke NY, ya. Aku tunggu," kata Milky setelah pelukan mereka terlepas.

"Kamu bayarin tiket pesawatnya, ya?"

"Gampang. Aku tinggal nelepon Om Cakra supaya kasih aku duit," jawab Milky ringan. Kaelyn mendengkus pelan.

"Kalian ini, udah mau pisah tapi masih aja saling ngeselin," komentar Ardian. Ardian dan Aero yang menemani Kaelyn mengantarkan Milky ke bandara karena kedua orang tua Kaelyn sedang di luar kota. Barra sedang rapat penting dan Jazmyn serta Garda juga ada keperluan lain.

"Lo ngapain, sih, pakai ikutan segala, Yan? Gue cuma minta Aero buat nemenin gue nganter Milky ke bandara, nggak ngajak lo."

"Suka-suka gue, dong. Lagian ya, Milky sendiri yang minta gue ikutan. Udah gitu, lo bisa apa?" balas Ardian pongah. Kaelyn menatap bingung sepupunya.

"Kamu yang ngajak dia?" Kaelyn menunjuk wajah Ardian namun tangannya segera diturunkan Aero.

"Nggak sopan, Babe."

"Iya. Ardian udah baik banget mau nemenin aku ke mana aja selagi kalian nggak bisa. Aku juga mau dong salam perpisahan sama dia. Salah emang?" tanya Milky polos.

"Ya ... enggak, sih."

Lima belas menit kemudian, Milky sudah harus segera masuk untuk check in dan sebagainya. Jika tidak bergegas, ia bisa ketinggalan pesawat karena di imigrasi pasti antriannya panjang.

"Bye!" Kaelyn melambai pada Milky yang makin lama makin menjauh. Aero dan Ardian juga melakukan hal yang sama. Mereka baru beranjak dari tempat mereka berdiri setelah Milky tidak terlihat lagi.

"Gue bakal kangen banget sama Milky," lirih Kaelyn.

"Gue juga," sahut Ardian.

***

Kaelyn menyodorkan minuman soda kaleng pada Aero yang sedang duduk bersantai di ayunan. Mereka saat ini sedang berada di halaman belakang rumah keluarga Byakta. Sepulang dari bandara, Aero memutuskan mampir sebentar di rumah Kaelyn. Ia suntuk berada di rumah terus-terusan. Saat ini mereka masih dalam rangka libur semester. Waktu mereka banyak luang meskipun hari ini adalah hari kerja.

"Enak ya, di sini. Adem," komentar Aero. Ayunan tersebut berada di bawah pohon rindang sehingga mereka tidak terkena cahaya matahari langsung.

"Di rumah kamu kayaknya bisa deh dibikin ayunan gini. Di halaman depan aja, kan luas tuh. Aerilyn pasti suka." Kaelyn duduk di hadapan Aero. Perlahan, ia menggerakkan ayunan tersebut.

"Hm, iya. Ntar aku bilang ke Pop," jawab Aero. "Kae."

"Kenapa, Ro?"

"Aku ... aku mau ngomong sama Mom," kata laki-laki itu. Kaelyn menatap lekat wajah Aero.

"Ngomong?"

"Iya. Aku kepikiran yang kamu bilang pas kamu dirawat kemarin. Aku ngasih kesempatan untuk kamu, kenapa aku nggak lakuin itu juga ke Mom. Kamu benar, aku egois. Hanya memikirkan diri sendiri. Aku nggak tahu gimana dari sudut pandang Mom soal kejadian lima belas tahun yang lalu, tapi aku udah nge-judge dia sedemikian rupa. Aku pikir ... kami harus bicara supaya semuanya jelas."

Senyum Kaelyn terkembang. Gadis itu senang mendengar bahwa Aero sudah mau berdamai dengan masa lalunya.

"Menurunkan ego kamu nggak membuat kamu terlihat lemah. Aku senang kamu mau berdamai dengan beban yang selama ini bersarang di sini." Kaelyn menunjuk dada Aero. "Aku yakin ini keputusan yang tepat buat kamu. Kalau kamu butuh aku, aku selalu ada di samping kamu."

AmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang