Tiga Puluh Lima

273 25 0
                                    

Kaelyn melirik ponselnya berulang kali di sela-sela rapat bersama delegasi Baksos yang terdiri dari mahasiswa co-ass. Konsentrasinya pecah antara menunggu balasan pesan dari Ardian dan mengikuti rapat. Untungnya, ia tidak banyak ambil andil dalam rapat kali ini. Divisi acara yang mengambil alih rapat karena mereka yang akan menjelaskan bagaimana teknis dan sistematis Baksos yang akan dilakukan delapan hari lagi. Kaelyn hanya akan menambahkan sedikit saja nantinya atau menjawab pertanyaan dari delegasi jika divisi acara tidak bisa menjawabnya.

Elisa-yang menyadari jika Kaelyn tidak fokus pada rapat-menyenggol pelan lengan Kaelyn. Kebetulan gadis itu duduk di sebelah Kaelyn karena ia menjadi notulen rapat kali ini. "Pst, Kae."

"Kenapa, Lis?" Kaelyn menoleh sekilas pada Elisa lalu melihat kembali layar ponselnya yang mati.

"Lo kenapa dari tadi liatin hape mulu? Fokus, Kae. Kita lagi rapat. Nggak enak juga sama delegasi kalau lo keliatan nggak fokus gini," bisik Elisa. Sedari tadi ia sudah melihat tingkah aneh Kaelyn. Gestur tubuh Kaelyn yang terkadang gelisah membuatnya bisa menangkap jika terjadi sesuatu yang tidak beres pada sahabatnya itu.

Kaelyn menghela napasnya berat lalu mengangguk. Ia menyadari kesalahan serta ketidak profesionalnya ia kali ini. Kaelyn menyampur adukkan organisasi dengan kehidupan pribadinya. Dan itu bukan Kaelyn sekali. Dari dulu, Kaelyn selalu berprinsip jika masalah pribadi tidak boleh dibawa sampai ke organisasi. Ia harus tetap profesional meskipun di dalam dirinya sedang kacau.

Sekuat tenaga, Kaelyn berusaha fokus kembali pada rapat. Ia bahkan menyimpan ponselnya ke dalam tas agar tidak melihat terus ke sana. Kaelyn berusaha mengenyahkan sebentar kecemasannya pada Ardian.

Satu jam yang penuh perjuangan bagi Kaelyn akhirnya selesai juga. Rapat Baksos dengan delegasi selesai tepat pada pukul lima sore. Kaelyn bergegas mengambil ponselnya kembali. Senyum gadis itu terkembang begitu mendapati balasan chat dari Ardian. Buru-buru jarinya menari lincah di layar, membalas chat tersebut.

Elisa-yang masih setia bersama Kaelyn-makin menatap heran sahabatnya itu. Tadi bukankah Kaelyn terlihat gelisa? Kenapa sekarang wajahnya sudah cerah seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya.

"Lo udah mulai gila, ya?" tukas Elisa. Kaelyn mendelik lalu mencubit kecil lengan sahabatnya itu.

"Sembarangan lo."

"Habisnya lo aneh. Tadi gelisah, sekarang senyum-senyum nggak jelas. Gimana gue nggak curiga coba?"

Kaelyn mengabaikan Elisa dan kembali fokus pada layar ponselnya. Ia sibuk memeriksa room chat, berharap ada chat baru yang masuk. Sayangnya, chat yang diharapkan Kaelyn tidak ada sama sekali. Ponselnya sepi tanpa pemberitahuan terbaru. Senyum gadis itu mendadak luntur.

"Kan-kan. Gimana gue nggak ngira lo gila? Ini wajahnya udah mendung lagi. Aneh banget lo hari ini." Elisa menunjuk-nunjuk wajah Kaelyn dengan tampang menuduh.

"Ardian nggak balas chat gue," cemberut Kaelyn. Gadis itu menyimpan ponselnya ke dalam tas kembali.

Elisa memutar bola matanya. Ardian lagi. Entah sampai kapan Kaelyn akan terjebak dengan cinta bertepuk sebelah tangannya itu. Padahal Kaelyn sendiri sudah memiliki kekasih.

"Keluar, yuk. Tinggal kita berdua doang di sini." Semua anggota rapat sudah bubar dari tadi menyisakan mereka berdua di ruang serba guna tersebut. Tanpa memedulikan Kaelyn, Elisa bangkit duluan. Gadis manis bertubuh mungil itu mengambil remot AC dan mematikannya. Ia juga memeriksa jendela, apakah sudah tertutup semua atau belum.

Kaelyn menunggu Elisa di ambang pintu. Tangan kanannya memegang kunci ruangan yang akan ia kembalikan besok pada CS. Jam segini, semua pekerja di kampus sudah pulang. Kampus hanya akan diisi oleh mahasiswa yang memiliki keperluan.

AmareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang