49

127 10 9
                                    

Malam itu Aldi duduk di balkon apartemennya. Dia telah menghabiskan rokok setengah bungkus. Sejak kepergian Laras, dirinya suka menyendiri dan perokok. Sikap dinginnya pada wanita kembali lagi, persis saat dirinya dikecewakan Catherine.

Aldi mendapat informasi bahwa dirinya kini sedikit kurus dari beberapa temannya di universitas. Rasa sakit dan rindu yang dia rasa membuatnya mengabaikan keadaan dirinya. Dia berjalan ke meja kerjanya.

Hampir setiap malam dengan setia dia menunggu di depan laptopnya. Berharap ada balasan email dari Laras. Wanita itu benar-benar memutus akses untuk berhubungan kecuali melalui email.

Semangat lelaki itu seakan bangkit ketika ada email terbaru yang Laras kirim. Laras tidak mengirim satu patah kata pun. Dia hanya mengirim attachment yang berisi foto perubahan dirinya dari waktu ke waktu.

Aldi segera menyimpan dan mencetaknya. Dia tidak tahu, harus bahagia atau bersedih. Di hadapannya kini terlihat foto Laras dengan perut yang semakin membuncit. Ingin rasanya Aldi membelai perut itu. Batinnya begitu tersiksa.

Mengapa nasib baik tidak bertahan lama padanya. Apa salahnya? Beberapa bulan yang lalu, setelah Laras meninggalkannya, orangtua beserta adiknya mengunjunginya di Amerika, mereka memberi dukungan dan semangat.

Kabar dari pihak kepolisian juga belum membuahkan hasil. Victoria begitu terpukul mengetahui hal itu, dia harus melihat kembali anaknya kecewa. Namun entah mengapa, mereka seakan tidak bisa membenci Laras, mereka tahu bahwa saat ini rumah tangga Aldi dan Laras tengah dirundung masalah. 

Aldi terus memandang foto yang ada di tangannya. Tanpa terasa, air mata mengalir keluar dari matanya. Seumur hidupnya, dia tidak pernah merasakan hal ini. Rasa ini begitu menyakitkan, bahkan lebih sakit tatkala Catherine meninggalkannya dulu. Akhirnya, Aldi tertidur dengan mendekap foto Laras di dadanya.

***

Pagi itu Laras sarapan dengan omlet dengan segelas susu rasa cokelat yang di buatkan Vladimir untuknya.

"Terima kasih Vladi," katanya seraya menerima susu buatannya. Vladimir mengangguk seraya mengatakan susu hangat itu bagus untuk bayi yang ada dalam kandungannya.

Kendati usia kandungannya sudah enam bulan, Laras tetap bekerja di perusahaan Vladimir. Dia tidak ingin menerima belas kasihan dari lelaki itu. Setelah sarapan mereka beranjak pergi menuju kantor. Dalam perjalanan, Vladimir mengelus perut Laras.

"Bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja?" tanya Vladimir seraya memandang Laras yang duduk di sebelahnya. Laras tersenyum sambil mengangguk.

Dia teringat Aldi, rasa rindunya kembali menyeruak, walau bagaimanapun Aldi berhak melihat dan menjaga anaknya. Rasa pedih kembali dia rasakan. Laras berusaha bertahan, walau bagaimanapun ini upayanya dalam melepas orang yang di sayangi.

"Kau melamun?" tanya Vladimir. Laras menggelengkan kepalanya. Vladimir tahu, mungkin Laras teringat Aldi. Beberapa bulan ini, akhirnya Laras menceritakan mengenai perjalanan hidupnya dengan Aldi.

Tentang lika-liku kehidupannya, tentang rumah tangganya. Vladimir mendengar dengan penuh kesabaran, dia mengatakan agar Laras bersabar. Dia juga menyarankan agar Laras menemui Aldi dan mengurus kelanjutan rumah tangganya.

Walau bagaimanapun, mereka masih suami istri yang sah dan harus segera diputuskan bagaimana kelanjutannya karena mereka berhak untuk hidup bahagia. Laras menangkap maksud Vladimir, dia ingin kejelasan statusnya. Bukan seperti saat ini, namun untuk bertemu dengan Aldi rasanya ia tidak kuat.

Dia tidak ingin membuka luka lama yang saat ini tengah dia perjuangkan untuk mengobatinya. Laras menyerahkan pada waktu, namun sampai detik ini, dia tidak dapat melupakan Aldi. Bayangan lelaki itu kerap terlintas di benaknya, dalam tidur malamnya.

REYNALDI, The Man Who Will Fight For My HonorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang