-¦- -¦- -¦- 28 -¦- -¦- -¦-

37 5 0
                                    


Wahyu turun dari metro dengan gayanya itu. Matanya menyipit ketika cahaya matahari menyinari wajahnya. Begitu sudah di aspal, metro meninggalkan dirinya dengan kenang-kenangan asap hitam. Menghancurkan penampilan terbaiknya.

Dia terbatuk.

"Njiir! Sialan!" keluhnya, menghilangkan sisa asap dari wajahnya. Pergi menghindar. "Asep apaan tuh! Item bener! Seret ke tenggorokan,"

Langkahnya santai, dia akan selalu seperti itu. Dia ini haus akan ke kerenan pada dirinya. Nama Wahyu itu sudah keren, tinggal dirinya yang harus menunjukan jika dia laki-laki paling keren di manapun. Dulu di Pusat dia paling keren, tentu saja dia juga harus mendapatkan jabatan itu di Barat. Entahlah kenapa dia seperti ini, dia tidak akan terkejut jika sikapnya ini di turunkan dari Babenya itu.

Seragam yang di pakai Wahyu tanpa kusut walaupun dia keluarkan serta tanpa dasi, parfum yang cukup menyerbak dan rambut badai itu. Ya, rambutnya memang sedikit keriting. Tapi entah kenapa kali ini terlihat tampan sekali untuknya.

Sempat saat di perjalanan menuju sekolahnya, dia menebar benih ketenaran. Tersenyum pada siswi di jalan, melambai atau bahkan mengkodekan untuk menelfon dirinya. Itu berlaku untuk siswi yang lumayan di matanya. Semua laki-laki memang seperti itu kalau sedang menebar pesona, pilih-pilih.

Perilakunya itu berhenti ketika dia mendapati Fifi di depan sana. Gadis itu berjalan sendiri di antara murid lainnya. Sibuk mendengarkan musik sembari melihat sekitarnya. Mungkin bergumam. Wahyu mengawasi gadis itu diam-diam. Ada rasa ingin mendekat serta menyapa. Tapi sesuatu menahan dirinya. Ucapan Reza kemarin.

"Gue nggak peduli apa alasan lo pada. Tapi sebisa mungkin lo jauhin dia. Terutama lo, Yu"

Dia mengacak-acak rambutnya. Ini semua gara-gara masalah sialan itu. Kalau saja waktu itu dia tidak gegabah berlari ke arah markas milik 08 semuanya pasti tidak akan seperti ini. Dan kalau saja dia tidak gegabah menerima tantangan Iksan itu. Semuanya tidak akan serumit ini. Benar-benar! "Ya, harusnya sih gue menjauh! Siapa juga yang mau libatin tuh cewek!"

Mata wahyu melirik ke depan sana. Seketika matanya bergerak cepat, panik. Gadis itu menggilang dari jalanan. Dia berhenti, melihat sekelilingnya takut-takut dia sudah mendahului perempuan itu. Tapi dia tidak melihat sosoknya.

"Kemana tuh cewek? Cepet banget?"

Sementara itu, Fifi masih berjalan santai. Dia melepaskan earphone dari telinganya. Mengulungnya pada ponsel, lalu dia masukan ke dalam saku roknya. Dia tidak menghilang, hanya mengambil jalan lain. Dia terkadang akan masuk ke dalam sekolah lewat gerbang belakang. Dan hari ini dia juga berniat lewat sana. Berharap saja tidak ada lagi pernyataan cinta di pagi yang bahkan matahari belum sepenuhnya keluar ini.

Tangannya mendorong gerbang besi itu, suaranya cukup berdecit menyakitkan. Makanya dia dorong perlahan. Lalu di tutup dengan bantingan.

Dia sudah memutuskan. Reza adalah orang yang harus dia temui pertama kali. Sebelum---

"Eh, Lo,"

'Sialan!'

Di depan sana duduk Dewa sembari mengscorl layar ponsel. Satu kakinya berada di atas, dia memakai kaos merah bertuliskan "Boring", seragamnya itu bahkan tidak di kancing seluruhnya. Tidak ada dasi, juga sabuk yang ada hanya sepatu mahalnya itu. Benar-benar! Dia itu pelajar apa preman?

Fifi berdeham. Ya sebenarnya dia ingin sekali memotret pose itu. Lumayan juga untuk ilustrasi novelnya itu. Tapi dia sadar diri, dia itu sedang menghindari dua orang di sekolah ini. Dan salah satunya adalah laki-laki menyebalkan ini. "Ya, gue duluan,"

"Gue bilangkan, gue mau ngomong," kata Dewa.

Fifi berhenti, dia melirik. Jantungnya berdetak, deg-degan. Bukan apa-apa, cuman dia masih belum tahu hal apa yang Reza katakan pada mereka berdua! Aibnya? Yang mana? "Ehem! Ya, Nggak usah di omongin lah! Gue tahu, kok!"

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang