-¦- -¦- -¦- 49 -¦- -¦- -¦-

34 3 0
                                    

Fifi keluar dari minimarket. Membawa sekantung plastik belanjaan. Dia berhenti sebentar, meletakan semua barangnya ke dalam tas. Sempat kesulitan tapi setelah adegan pemaksaan yang di larang di tampilkan di layar semua barangnya dapat tersembunyi di dalam sana. Satu buah barang dia sengaja keluarkan. Es krim vanila yang dia beli dari uang jajannya sendiri.

Tidak mungkin dia menggunakan uang milik Ibunya. Uang belanjaan tadi benar-benar pas. Tidak menyisakan sedikitpun. Tapi percuma, jikalaupun ada sisa. Dia harus tetap mengembalikannya. Ya, dia paham. Semua Ibu di semua dunia ini juga seperti itu.

Dengan santai, dia membuka bungkus es krim itu. Menikmatinya dengan relaks. Setelah seharian dia pening karena belajar. Akhrinya bisa mendinginkan otaknya. Dia juga sibuk ke sana kemari. Hanya untuk mengetahui keadaan dua laki-laki itu. Ke kelas Dewa dengan alasan Angel. Ke meja Wahyu dengan alasan buku. Dia itu keanak-anakan sekali. Sebenarnya dia benci, tapi mau bagaimana lagi. Dia malu.

"Mm--enak!" gumamnya. Menganguk memuji es krim yang dia makan itu. Es krim vanila, hanya vanila. Lagi-lagi dia menjilatnya. Menganguk lagi.

Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Dia langsung pergi ke minimarket setelah pulang sekolah. Agar lebih efisien, dia juga malas bolak-balik hanya untuk membeli deterjen dan sabun cuci piring. Menyusuri jalanan seorang diri di antara banyaknya kendaraan yang lalu lalang. Bergumam sembari menikmati es krimnya itu. Dia melewati sebuah taman, ada lapangan besar di sana. Lapangan yang sering di jadikan tempat perlombaan anak-anak kampung. Kalau sudah sore begini biasanya ramai oleh para orang tua dan tentu saja laki-laki yang bermain bola.

Setiap hari dia berjalan melewati tempat ini, terlalu hafal dengan semua keadaan yang terlihat setiap sore. Dia bahkan bisa liat jejak gerobak tukang somay yang biasanya berhenti untuk berjualan. Tempat itu kosong, sepertinya Abang somay terlambat datang. Lapangan juga masih sepi. Ya, waktu memang masih terlalu siang. Jam tiga sore. Mungkin para pengunjung taman sedang sibuk membersihkan diri.

Setiap langkahnya, setiap jilatan es krimnya itu. Fifi kalut dalam pikiran konyol soal dua laki-laki itu. Berseling di putarnya lagu di kedua telinganya, dia bertanya-tanya tentang perasaannya sendiri. Menanyakan pada diri sendiri apa itu cinta baginya? Apa dia sudah menyukai salah satu di antara mereka? Orang bilang, jika suka dia pasti rindu orang itu. Tapi bagaimana? dia rindu keduanya. Wahyu dan Dewa. Dia rindu dua laki-laki itu. Tidak tahu apa artinya ini, tapi dia tahu salah. Namun, memaksakan perasaan bukanlah bagus.

Es krim di tangannya sudah setengah, bibir dan lidahnya kedinginan. Tapi tenggorokannya menyukai hal itu. Di tengah jalan dia menendang batu kerikil. Entah kenapa dia malah jadi tidak mood begini. Kesal mendatanginya setelah memikirkan dua laki-laki itu. Apa alasan mereka tidak masuk sekolah padahal mereka baik-baik saja? Jika Wahyu, dia bisa paham laki-laki itu mungkin saja menghindarinya. Tapi Dewa? Dia tahu cowok itu berandal di sekolah tapi dia yakin Dewa tidak akan bolos untuk alasan yang tidak ada gunanya.

Fifi berhenti mendadak. Menutup mulutnya. "Nggak mungkin, kan?" katanya tiba-tiba. Es krimnya di bawah sana meleleh. Dia jilat sebentar. Lagi-lagi bicara. "Dia nggak gila, kan?" tanyanya. Mengeleng kepala, mengeluh kecewa. "Nggak mungkinlah! Masa dia jadi gila gara-gara tabrakan? Tapi kalau bener---wah--dia---"

"Aduh! Eh! Maaf! Gue nggak sengaja,"

Es krim di tangan Fifi terlepas, berakhir mengenaskan di bawah sana. Sudah menyatu dengan aspal Mulutnya terbuka, dia terkejut sekali. Tangannya menyatu dia gunakan untuk menujuk es krimnya di bawah sana. "Es krim gue, jatuh!" kata memberitahu.

"Eh! Sumpah gue nggak sengaja. Lo---ahh! Fifi," kata pelaku panik.

Gadis itu menoleh, ternohok melihat Bagas di sampingnya ini. Dia memijit pelipisnya. Bagas berdiri tidak tenang. "Bagas, bagas lagi! Bagas lagi! Lo---"

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang