Iqbal sejak tadi tidak berhenti menghela nafas. Dia di buat kesal. Terutama pada sepupunya itu. Entah kenapa dia hari ini sampai melibatkan dirinya dalam masalah dengan orang yang dia hindari sekali sejak dulu.
Sementara itu, si pelaku hanya menggaruk kepalanya tidak ada rasa bersalah.
"Lo apa-apaan sih?" tanya Iqbal akhirnya. Mereka sudah cukup jauh dari belakang sekolah. Yakin sekali para penatar itu tidak akan mendengar pembicaraan mereka.
Wahyu menaikan bahunya. "Ya, nggak kenapa-kenapa. Apaan emangnya?"
Iqbal langsung menahan Wahyu dengan tangannya. Mereka berhenti di depan taman. Di sekitar mereka sepi. "Lo tahu nggak sih? Lo barusan libatin gue dalam hal yang membahayakan kehidupan gue!"
"Huft! Bal! Namanya juga penataran! Kalau gue ngebela diri nggak papa dong! Dan memberikan pendapat. Inget, Bal! Negara ini demokrasi," katanya sok pintar. "Dan mulut gue kepedesan! Tar beliin gue minum, ya!"
"Diem lo, ya! Gue kaga tahu lo kenapa hari ini. Tapi---ah anjing lo ya! Gue udah bilang lo ikutin aja apa yang mereka suruh. Kok lo jadi kek gitu sih tadi?" omelnya.
Wahyu kesal. Dia menatap Iqbal tidak suka. "Kenapa, sih Bal? Takut lo? Segitunya? Siapa sih emang dia? Kakak kelas?"
Iqbal mengeleng, heran dengan kelakukan sepupunya itu. Mereka kembali berjalan. Wahyu menunggu penjelasan. "Dia bukan kakak kelas. Dia anak kelas dua!"
"Lah? Seumuran! Seangkatan! Takut dimananya lu?"
Iqbal berdecak. "Namanya Dewa! Anak kelas dua IPS tiga! Semua orang di sekolah tahu tuh anak. Dan bikin masalah sama tuh orang! Itu hal bego!" katanya sebal. Menekan kata terakhir. "Paham nggak lo?"
Wahyu memutar bola matanya malas. Tidak takut tentang hal itu. Lagi pula rasa percaya dirinya tentang dia lebih berbahaya dari laki-laki bernama Dewa itu lebih besar. Dia yakin sekali dia menang telak kalau bertarung dengan laki-laki menyebalkan tadi. "Ya ya ya!"
"Yaudah! Sekarang kita ke kantin." kata Iqbal lemas.
"Lo nggak nunjukin sekolah lo ini? Gue anak baru loh!"
Iqbal tertawa kecil. "Anjir lo! Kek bocah! Lo jalan-jalan aja sendiri. Lagian gue juga siswa di sini. Gue bukan pemandu sekolah ini. Dan lagian ini itu sekolah bukan tempat wisata!"
Wahyu menganguk. "Bener juga lo!"
"Ya, tapi gue mungkin bisa sedikit kasih tahu beberapa tempat yang kita lewatin!" Wahyu tertawa getir. Dan Iqbal mengeleng. "Tuh, itu lab komputer. Itu UKS. Itu taman. Itu kamar mandi. Dan itu ruang OSIS," katanya saat berjalan santai sembari menunjuk beberapa tempat.
Wahyu menunjuk sesuatu dengan dagunya di depan sana saat melewati selokan besar. "Itu apaan?"
"Itu sempak hanyut! Mata lo keknya nggak bisa di filter, ye?" sembur Iqbal saat melihat apa yang di tanyakan Wahyu. Laki-laki itu hanya tertawa, senang sekali mempermainkan sepupunya itu.
"Gimana menurut lo? Ini sekolah?" tanya Iqbal.
Wahyu diam sebentar. Lagi-lagi mengingat tentang sekolahnya dulu. Membandingkannya. Saat melewati berbagai tempat, dia bisa lihat perbedaan besar. Sekolah lamanya dulu, di setiap tempat pasti ada saja siswa yang duduk. Entah itu di lantai atau kursi dari dalam kelas, sibuk makan atau bercanda. Lalu saat dia lewat, semua orang menyapanya. Itu sangat menyenangkan baginya. Terlihat jika dia sangat terkenal. Dia juga pasti akan melihat beberapa anak yang sudah mengendong tas berniat membolos.
Tapi sekolah ini, semuanya berbanding terbalik. Baginya ini terlalu aneh. Terlalu sepi. Terlalu disiplin.
"Ya! Lumayan lah!" jawab dia seadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Meet You [ TAMAT ]
Teen Fiction-¦- -¦- -¦- VERSI SATU -¦- -¦- -¦- Kurasakan hati ini berdebar. Kau berdiri di sana. Aku memandang mu serius. Sampai semuanya tiba-tiba menjadi hilang. Hanya aku dan kau yang tersisa. Suaramu terdengar jelas di telingaku. Ku pikir aku gila. Tapi...