-¦- -¦- -¦- 57 -¦- -¦- -¦-

32 4 0
                                    

Entah untuk yang keberapa kalinya mata Fifi melirik ke belakang sana. Tempat duduk Wahyu yang berada di pojok kelas. Mencuri-curi pandang pada laki-laki yang sibuk bermain ponsel di sana. Kalau di lihat, sepertinya bermain games. Saat datang sekitar sepuluh menit yang lalu, Wahyu masuk sembari menyapanya. Lalu duduk di tempatnya di sana.

Dia melirik ke arah lain. Ada beberapa teman kelas yang sudah datang. Ada yang sibuk foto, mengerjakan tugas, sarapan sampai membersihkan kelas. Dan dia sendiri, sedang sibuk bertengkar batin. Berdoa saja tidak ada yang sadar dia sedang menyumpah serapah. Semalam, Angel memintanya mengatakan perasaannya pada Wahyu. Terlihat mudah. Tapi, dia gemetar.

Jantungnya itu lohhhh!

"Aduhh! Masa gue jawab sekarang sih?" bisiknya. Kedua tangannya yang berkeringat menyatu. Lagi-lagi melirik ke belakang sana. Kembali lurus ke depan cepat-cepat. "Tapikan, emang harus di jawab. Cuman---"

"Eh! Fi! Lo bukannya piket?" tegur salah satu temannya di sana itu. Dia Rasya, tempat duduknya di belakangnya. Datang bersama satu sapu di tangan. Menyerahkan alat pembersih itu padanya. "Nih! Gue udah, ya!"

"Hah? Oh! Ok!" Dia lupa hari ini bagian barisannya untuk piket. Pikunnya ini pasti muncul kalau sedang gugup seperti ini.

Fifi meletakan ponsel dan berangnya di atas meja begitu saja. Mulai menyapu kelas di tempatnya dulu. Itu juga asal-asalan. "Eh! Ras! Ya--yang di ujung--udah?"

"Belom! Gue tadi depan kelas doang!"

Fifi menganguk. Kakinya melangkah tanpa suara ke belakang sana. Tujuannya adalah barisan Wahyu. Melewati belakang kelas, menyempil di antara dinding dan kursi. Dia akhirnya sampai di ujung kelas itu. Mulai pelan-pelan membersihkan di tempat itu. Dan tentu saja melirik pada laki-laki di sana.

Seperti dugaannya. Wahyu sibuk bermain games di ponselnya. Bahkan dia tidak sadar ada dirinya di jarak yang lumayan dekat ini. Ya, sebenarnya dia tidak berharap laki-laki ini sadar. Kalau bisa pura-pura saja dia ini tidak terlihat. Jantungnya berdetak kencang, pikirannya semerawut bertengkar hebat. Terlihat jelas, cara dia menyapu saja tidak becus. Habis bagaimana, dia penasaran dan dia bingung bagaimana memulai percakapan yang pasti akan berakhir pernyataan perasaannya?

"Tempat gue nggak di sapu?" tanya Wahyu tiba-tiba.

Fifi melirik, gugup bukan main. "Hah? Oh, yaudah awas kaki lo!"

Masih menempel di kursi. Kedua kaki Wahyu naik ke atas meja. Semakin dekat, suara games dari ponsel makin terdengar. Fifi menyapu lantai bawah meja dan kursi laki-laki ini. Tidak begitu kotor. Hanya beberapa pasir dan satu gelas plastik kosong. Masih sibuk mencuri pandangan. Si Wahyu bahkan sama sekali tidak melihatnya. Sepertinya seru sekali permainan di sana. Gadis itu menyapu semua sampah yang ada. Tapi ketika dia ingin melanjutkan menyapunya. Keberaniannya sontak muncul.

"Em! Yu!" panggil Fifi. Hanya gumaman yang dia dengar. "Gue---"

Sekilas Wahyu melirik sebentar. Melihat gadis itu, gelagatnya cukup aneh. Tangannya juga mengengam sapu begitu erat. Dia tidak punya firasat apapun, tapi yang terlintas di pikirannya mungkin gadis ini ingin mengatakan sesuatu. Jadi, dia kembali fokus pada ponselnya sembari menunggu. "Kenapa?"

Fifi mengeleng cepat. Kembali menyapu lantai di bawah. "Nggak jadi, deh!"

"Jangan bikin penasaran gitu, dong!" protesnya. Wahyu berhenti, meletakan ponselnya di atas meja. Mengakhiri permainannya. Merasa yang ada di depannya sekarang cukuo serius. "Apaan sih?"

"Nggak! Cuman----" Gadis itu pura-pura menyapu. Menelan salivanya susah payah. "Semalem! Iya, gue nggak bisa dateng! Hehe!"

Wahyu mengerutkan dahinya. "Gitu doang?"

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang