Di tengah keramaian, Wahyu berdiri sendirian bersama ponselnya. Hari ini ketiga temannya datang berkunjung, sejak tadi pagi mereka sudah mengiriminya pesan yang banyak sekali untuk menjemput mereka. Mengatakan harus menyambut dengan penuh kasih sayang dan taburan bunga mawar. Benar-benar kalau saja mereka tahu, ini hari sabtu. Hari dia libur, selama lima hari dia di gember untuk bersekolah sampai sore. Libur dua hari itu tidak cukup.Tapi untuk hari ini, dia spesialkan. Ya, mau bagaimanapun juga dia harus menyambut ketiga temannya itu. Dan yang lebih penting, mereka sepertinya tersesat. Mereka salah menaiki metro. Padahal ada jurusan yang lebih cepat untuk sampai ke rumahnya. Tapi mereka malah mengambil jurusan ke arah ciledug. Sudah gila, bolot juga. Terkadang dia itu suka menyesal punya teman seperti mereka.
Hasilnya dia harus pergi ke tempat ini dengan metro lain, menunggu sejak dua puluh menit yang lalu. Untung saja hari masih pagi, dia juga belum menyentuh air sedikitpun.
Wahyu melirik ke sana kemari, harusnya mereka sudah sampai. Matanya menyipit, melihat ketiga orang yang tidak asing di matanya sedang celingak-celinguk seperti orang kampung. Dia mendekat tanpa suara. Mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
"Aih, Iye teh timana kitu? Aing, ente nyaho! (Aduh, ini tuh dimana sih? Aku mah nggak tahu)" ucap Pendy dengan bahasa sunda. Bahasa Ayahnya itu yang dari banten. Melirik ke sana kemari, persis sekali seperti orang kampung yang datang ke kota.
"Ora ngerti aku! Jerene supir wis butul! Kiye neng ciledug apa? Ora yakin! (Aku nggak ngerti! Kata supirnya sih udah nyampe! Ini di ciledug apa? Nggak yakin)" saut Rizal dengan bahasa jawanya. Bahasa Ibunya yang dari purwokerto.
"Pulu pulu pulu pulu pulu!" ucap Akmal.
Mereka bertiga berhenti mendadak. Saling pandang.
"Gila lu, Mal?" kata Pendy.
Rizal mengeleng. Memukul dahinya sendiri. "Bahasa mana lagi itu?"
Akmal menghela napas. "Lah lu pada berdua asik bener ngobrol pake bahasa daerah. Guekan juga pengen memperkenalkan Indonesia. Yaudah gue ikutan,"
"Lah itu daerah mana dodol," tanya Rizal sebal.
"Tahu! Bahasa mana kali,"
"Tolol, lo Mal,"
Di tengah keramaian, mereka bertiga ketawa seenaknya, kencang sekali. Seakan-akan di dunia ini hanya ada mereka. Orang-orang memperhatikan mereka aneh, menjaga jarak. Masih muda tapi otak sudah koslet.
Wahyu berdiri lima langkah di depan. Heran dengan mereka. Dia mendekat, barulah mereka itu sadar akan kehadiran dirinya. Dia datang dengan wajah semerawutnya itu. Antara wajah bangun tidur dan malas di akui di antara mereka di hari yang masih pagi ini.
"Eiii! Wahyu!!!" pekik Rizal sok asik, menunjuk dirinya dengan norak. Sembari memukuli dadanya itu.
"WOIII! YAMINNN! YAMIN" saut Pendy dan Akmal sembari berlari ke arahnya.
Wahyu mundur saat mereka sudah dekat. "Jan deket-deket lo pada. Lo pikir gue kaga liat lo pada ngapain tadi, dasar orang kampung,"
"AHH! YA AMPUN KAMU BERDOSA BANGET!" kata Pendy.
"Berdosa!" jawab Wahyu mendramatsir. "Heh diem, ye! Jangan ngada-ngada lo pada. Gue tampol satu-satu,"
Mereka tertawa ramai-ramai. Wahyu ingin sekali tertawa, tapi dia tahan. Sumpah, dia malu tapi memang itu lucu. Mereka tidak lama saling sapa, tos-an sembari menabrakan pundak mereka. Menanyakan kabar masing-masing.
"Lo udah ok, Mal?" tanya Wahyu.
Akmal mengerakan tangan kanannya. "Ya, ok lah! Asal jangan nguli aja,"
KAMU SEDANG MEMBACA
How To Meet You [ TAMAT ]
Teen Fiction-¦- -¦- -¦- VERSI SATU -¦- -¦- -¦- Kurasakan hati ini berdebar. Kau berdiri di sana. Aku memandang mu serius. Sampai semuanya tiba-tiba menjadi hilang. Hanya aku dan kau yang tersisa. Suaramu terdengar jelas di telingaku. Ku pikir aku gila. Tapi...