-¦- -¦- -¦- 21 -¦- -¦- -¦-

41 4 0
                                    

Kokokan ayam terdengar di beberapa sudut. Embun dan air hujan jatuh lembut dari daun, merembes masuk ke dalam tanah. Semalam gerimis panjang, untung saja pagi ini berhenti total. Kalau hujan terus berlangsung, di pastikan akan banjir. Jalanan basah, tanah di beberapa tempat juga becek dan lembek. Dan jangan lupakan juga genangan air coklat di sudut jalan.

Yamin sepagi ini sudah duduk di depan rumah, dia menguasai seluruh dipan. Duduk dengan mengangkat kakinya, sibuk membaca koran sesekali menyeruput kopi pahitnya itu. Mungkin sudah sekitar lima menit dia di sana, tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan di pagi ini selain membaca koran. Kecuali dia masih muda. Dia mungkin harus siap-siap pergi ke sekolah.

Motor matic biru datang, Yamin melirik. Melipat korannya ketika mendapati kedatangan Iqbal dengan seragamnya itu. Lagi-lagi dia  menyeruput. "Sekolah, Bal?"

"Hehe! Iya, Beh! Wahyunya mana?" tanyanya. Masih di atas motor.

Kopi itu di letakan di dipan. Dia mengintip ke dalam rumah. Tidak melihat kehadiran Wahyu, akhirnya berteriak. "Yu! Yu! Wahyu! Iqbal, nih! Kaga sekolah lu?"

"Astagfirullah, itu bocah! Heh! Bangun, udah jam berapa ini. Kaga sekolah lu?" sembur Lani yang mendengar teriakan suaminya itu. Buru-buru masuk ke salah satu kamar. Padahal lima menit sebelum itu dia sudah membangunkan anaknya itu. Tapi semua juga tahu, anak laki itu terkadang sulit sekali di bangunkan. Makanya dia masuk lagi ke sana. Sepertinya membangunkan Wahyu dengan tidak berprikemanusiaan.

Tidak lama suasana jadi heboh. Wahyu kelagapan. "Jam berapa nih? Kesiangan!"

"Makanya bangun! Tidur aja lu! Mandi sono!" kata Lani.

Wahyu keluar kamar. Melihat Iqbal, dia keluar sebentar. "Bentar, Bal! Gue pake baju dulu,"

"Wanjir! Kaga mandi lo?" tanya Iqbal.

"Kaga keburu oneng!" katanya. Dia kembali masuk, melewati Lani dengan cepat. Masuk ke dalam kamar. Ribut di dalam. "Enyak! Apaan sih? Siniin seragam, mau sekolah nih,"

"Mandi dulu, masa lu sekolah kaga mandi!" tegur Lani. Dia melempar seragam Wahyu ke sofa. Membiarkan anaknya itu bertelanjang dada.

Wahyu menghela napas. Dia mengambil seragamnya, memakainya di ruang tamu. "Kaga keburu, Enyak!"

"Heh, Yu! Dimana-mana sekolah tuh mandi. Ketemu cewek malu lu. Bau badan lu. Masa sekolah kaga mandi," saut Yamin di luar. Menikmati kopinya.

"Elah, Beh! Cewek mana? Kaga ada!"

Yamin tertawa meledek. Menaikan dagunya, menunjuk ke arah Wahyu. "Tuh Bal! Denger, kaga laku dia,"

"BEH! Parah bener," protes Wahyu. Dia lagi-lagi masuk ke kamarnya. Mengambil tasnya. Lalu ke dapur.

Iqbal tertawa geli. "Kaga, Beh! Ada dia. Cuman gitu, keknya cinta segitiga."

"Yang bener lu?" tanya Yamin tidak percaya.

"Ya nggak tahu juga sih. Tapi kelihatannya begitu."

'Lagian gue juga kaga tahu si Wahyu sama si Dewa ngapa bisa suka sama tuh cewek,'

Yamin mengeleng, miris sendiri. "Kasihan amat. Kalau si Wahyu gagal, nggak kaget sih."

"Gagal apaan?" sela Wahyu. Dia keluar, mengambil sepatunya di bawah dipan. Mengenakannya terburu-buru.

Di sana Yamin membalikan koran. Bicara tanpa melihat anaknya itu. "Gagal ngerebut cewek,"

"Hah?!" pekik Wahyu seraya berdiri tegak. Dia melirik Iqbal. Sepupunya itu menunduk, mendorong motornya. Pura-pura tidak tahu. 'Aaaiiisshh! Si bangsat,'

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang