-¦- -¦- -¦- 38 -¦- -¦- -¦-

33 4 0
                                    

Dari jarak tiga langkah, decakan Iksan terdengar cukup kencang, tawa menyebalkannya itu mulai terlihat. Dia menyisir rambutnya yang sedikit acak-acakan itu. Kaos putih berbalut kemeja lengan panjang serta celana hitam yang sobek di lutut. Hanya tampilan simpelnya itu, hilang sudah semua kenyataan bahwa dia laki-laki brengsek, gila dan berbahaya. Yang tentu saja sudah memburu Wahyu  lebih dari seminggu ini.

Kalau orang tahu, kondisi ini sama saja seperti buronan yang tertangkap polisi. Wahyu jelas tahu jika laki-laki ini pasti akan datang suatu saat. Tapi dia jelas tidak tahu menahu jika suatu saat itu adalah hari ini. Bibirnya tertutup rapat, tidak ada kata yang bisa dia ucapkan selain sapaan barusan itu. Yang terjadi saat ini jelas sekali sangat menengangkan. Salah langkah, bisa saja terjadi perkelahian sengit di depan sekolah.

Dan Wahyu tidak mau itu terjadi.

"Udah lama nggak liat muka lo! Gue pikir orang lain" Iksan di sana berdiri dengan seringai sinisnya. Jelas sekali laki-laki itu marah besar. Lihat saja kedua tangannya di sana, sudah mengepal kencang bersiap menghajar wajah Wahyu.

Wahyu membalas seringai itu dengan tawa getir. "Gue rasa nggak ada orang di dunia ini yang ganteng selain gue."

"Dan nggak ada orang sepede lo yang pernah gue liat," balas Iksan.

"Ya, gue emang pede. Dan---"

Ucapannya terpotong. Tangan Iksan secepat kilat sudah mengarah tepat di wajah Wahyu. Membeku hanya beberapa senti dari tulang hidungnya. Walau samar, dia bisa merasakan ada angin menampar wajahnya setelah tangan itu datang. Wahyu diam sejenak, memandang telapak tangan sawo matang itu kalem. Kubu-kubu kepalan itu kasar karena pertarungan dan perbuatan gilanya selama ini. Di tambah prestasinya di jalur. Tangan itu secara tidak langsung adalah pialanya. Sekaligus saksi bisu.

Iksan menarik tangannya, melemaskannya dengan angkuh. Wahyu masih berdiri tanpa tergoyahkan. Mengamati mau apa sebenarnya laki-laki ini? "Sorry! Tangan gue pegel, tadi di metro nabrak orang,"

"Ya, gue paham, San!" ucap Wahyu malas. Dia menghembuskan napas, mengantongi kedua tangannya. "Jadi, lo beneran ke sini?"

Iksan berdesis. "Ya, habis gimana ya! Gue terlalu baik sih. Jadi, gue yang ke sini," Suaranya mulai berat, wajahnya berubah dratis. "Buat ngebantai lo,"

Wahyu mengangkat bahu, santai balas bertanya. "Nggak bisa ya di lupain? Gue udah pindah,"

"Lo pikir yang kemarin itu bisa di lupain gitu aja. Nggak usah jadi tolol lo di depan gue,"

"Negosiasi," jawab Wahyu. "Gimana bisa lo tahu gue ada di sini?"

Iksan mengeluh, mengacak-acak rambutnya. "Lo keknya setelah ke sini jadi suka nunda-nunda, ya! Ngalihin topik aja. Gue pengen ngebantai lo sekarang juga,"

Di sana Wahyu tersenyum tipis. Dalam situasi terdesak seperti ini, sekecil apapun informasi yang dia dapatkan akan sangat berharga sekali. Terutama siapa orang yang bertanggung jawab menghadirkan Iksan di sini. "Gue cuman pengen tahu aja. Terlalu penasaran jadi nggak seru,"

"Si Fio!" seru Iksan. "Dia sepupu gue," katanya. Wahyu mengusap telungkuknya, cukup terkejut laki-laki mencurigakan itu adalah sepupu Iksan. Tidak mengherankan dia pasti akan ke sini. "Pas tawuran pertama lo nggak dateng, malemnya Fio kasih video ke gue ada orang mirip kaya lo. Hah! Gue awalnya nggak percaya, gue pikir lo nggak dateng karena emang takut. Nggak mungkin lo ada di Barat. Tawuran ke dua? Ketiga? Gue pikir bajingan banget ketika yang ngajak janjian tempur malah nggak ada. Yang gue hadepin malah antek-anteknya yang kaya sampah. Sampai gue iseng nanya salah satu anak sekolah lo. Katanya lo nggak pernah kelihatan lagi di sekolah. Gue kira lo hilang dari bumi. Tapi setelah gue dapet info kalau Rizal, Akmal dan Pendy pergi ke Barat. Gue yakin, lo pasti di Barat juga."

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang