-¦- -¦- -¦- 36 -¦- -¦- -¦-

37 4 0
                                    


"Hah? Ya nggak tahu! Lo jangan kasih gue pertanyaan kek gitu dong. Membebani gue tahu nggak! Yaudah gue duluan! Dadah!"

Napas Wahyu terdengar menyeramkan. Padahal itu napas lega. Habisnya, tadi sore itu benar-benar membuat jantungnya konser. Pertanyaan  yang di ajukan Dewa itu memang penting. Dari sudut manapun, itu bisa saja mengarahkan ke masa depan harga dirinya. Kalau saja gadis itu menjawab anak balap, dia pasti akan di ledek oleh si pembalap itu habis-habisan dan kalau anak tawuran. Apa itu artinya lampu hijau bagi perasannya?

Ahh! Pokoknya Wahyu tidak tahu. Begitu banyak hal yang harus dia pikirkan. Iksan adalah nomor satu. Dan gadis itu benar-benar mengangu konsetrasinya untuk fokus pada Iksan. Tapi jujur saja, ada harapan di hatinya jika Fifi memilih dirinya.

Di malam ini, Wahyu berjalan sendiri. Sendal jepit yang dia pakai membuat suara ketika bergesekan dengan aspal. Jalanan sepi, ada sih beberapa orang di pinggir. Entah itu sedang berbincang sampai membetulkan sepeda motor. Ya, sibuk tapi sepi. Tidak seramai di kota-kota. Rumahnya memang bukan jalan utama, masih masuk ke dalam dari jalanan raya besar yang sering di lalui kendaraan sibuk. Jadi, suasananya tenang. Tidak bising.

Beberapa menit lalu, Lani memberikan dia perintah untuk membeli lem dan amplop. Mentang-mentang dia akan pergi ke warung, segalanya di titip padanya. Apa lagi Babenya itu, segala menitip obat sakit gigi. Ya, dia tidak protes sih. Lagipula dia dapat upah. Lumayan untuk satu atau dua batang rokok.

Di udara dingin ini, dia hanya memakai celana selutut, begitu percaya diri dengan kaos hitam polos di tambah rambut seperti gembel baru itu. Jangan lupakan juga wajah kasurnya itu. Dia mendaratkan kakinya pada salah satu warung kecil yang tidak jauh dari rumahnya. Tidak yakin semua barang yang dia ingin beli tersedia di sana. Tapi, dia malas sekali jika melanjutkan ke warung selanjutnya. Jaraknya cukup jauh, ada di dekat jalan raya di sana. Biarlah ada yang kurang. Asalkan dia sudah berusaha. Salahkan saja penjual yang kurang lengkap menjual barang.

"Beli!" seru Wahyu. Dia menunggu, ketika penjual datang. Langsung mengatakan apa yang dia inginkan. "Beli, obat sakit gigi, lem kertas sama amplop dua ribu,"

"Bentar, ya,"

Wahyu menganguk, sibuk merogoh uang di saku celana pendeknya itu. Menghitung uangnya. Di belakang sana terdengar suara motor, dia berniat menoleh. Tapi ternyata si pemilik motor sudah berdiri di sampingnya.

"Bang Roy, beli rokok, yang biasa, ya," katanya. Dapat sautan dari si pemilik toko yang sedang sibuk mencari di dalam sana.

Wahyu mendongak, dia mencabut salah satu makan kecil dari kacang di sana. "Gue pikir lu kaga ngerokok, Bal,"

Iqbal tertawa getir. "Bukan berarti gue nggak ngerokok, kan?" katanya ketus. "Jangan sok kenal lu,"

"Baperan amat sih,"

"Bacot,"

"Lo mau ke sana?" tanya Wahyu.

"Kalau iya kenapa?" tanya Iqbal.

Wahyu menaikan bahunya. "Niatnya sih pengen ikut. Tapi, ya pasti nggak bakalan boleh. Soalnya yang punya motor masih marah,"

"Gue nggak marah sama lu, Yu!" jawab Iqbal tegas. "Lebih ke arah kenapa lo dan temen-temen lo ngelibatin gue? Lo tahu itu tempat satu-satunya hiburan gue dan gara-gara kemarin gue hampir kena imbas,"

"Iya, dari hati yang paling dalam. Gue minta maaf soal kemarin," kata Wahyu serius. "Temen-temen gue juga minta maaf. Tapi mereka wajar ke gitu. Emang lo bakalan diem aja kalau liat pelaku yang ngebacok lo ada di depan mata?"

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang