-¦- -¦- -¦- 11 -¦- -¦- -¦-

40 4 0
                                    


Hari senin kembali datang, itu berarti sudah seminggu Wahyu bersekolah di tempat baru itu. Untuk yang kedua kalinya dia mengikuti upacara semenjak dia lulus dari SMP.

Di Pusat, upacara memang ada. Tapi dia selalu terlambat. Banyak alasan, dari memang dia yang kesiangan ataupun macet. Tapi alasan tersering yang dia alami, di cegat oleh sekolah musuh yang berniat memalak dirinya. Mau tidak mau, setiap pagi dia dan teman-temannya harus melewati rintangan itu semua. Termasuk acara pemalakan balasan untuk mereka.

Dan dia tidak pernah tergangu, malah dia sangat menikmati hal itu.

"Yu! Maju dikit," bisik Iqbal.

Sebenarnya dia ogah-ogahan. Habisnya, matahari sudah terlalu terik untuk dirinya berdiri mendengarkan ocehan wali kelas di poduim di sana itu. Tapi tetap saja dia menurut.

Dan benar saja perkiraan dirinya. Sepupunya itu berdiri di samping penderitaan terbakar kulitnya. Dia yang bertubuh sedikit gemuk dan pendek sudah seperti sedang meneduh dengan tubuhnya. Wahyu bagaikan pohon dan Iqbal itu domba bodoh yang pasti akan dia jadikan makanan jika upacara ini selesai.

"Sialan lo!" gumam Wahyu. Dia kembali ke tempatnya tadi. Menendang tumit Iqbal. "Lo pikir lo doang yang kepanasan?"

"Elah!" keluhnya. Dia bergerak tidak nyaman. Mulai berubah menjadi cacing kepanasan.

Iqbal mencari tempat teduhnya yang lain. Membelah beberapa anak kelas di depan, bersembunyi di antara mereka.

Wahyu masih diam tanpa suara, matanya menyipit menghindari sinar matahari. Diam-diam melihat ke sana kemari, sadar yang lain juga merasakan hal yang sama. Lapangan upacara yang sekaligus menjadi lapangan voli dan badminton. Selebar itu sama sekali tidak ada pohon yang berdiri. Paling hanya tanaman hias yang tingginya hanya kurang satu meter. Kebayang betapa gersang dan panasnya.

Sudah menjadi pemandangan tidak asing jika saat upacara, pasti saja ada yang pingsan di tengah kegiatan senin pagi itu. Wahyu juga sibuk melihat ke arah belakang sana ketika para anggota PMR sibuk membantu pelajar yang jatuh pingsan. Awalnya hanya menghilangkan rasa bosan dan melupakan panas matahari itu. Tapi dia malah keterusan melihat ke sana kemari.

Tiba-tiba dari depan barisan, Wahyu mendengar suara. Dia menoleh, kedua alisnya tersentak ketika melihat Fifi berjalan ke arahnya. Tidak! Mungkin ke belakang.

"Misi, ya! Aduh! Sorry!" kata gadis itu. Dia sekarang berdiri di barisan paling belakang bagian perempuan. Lebih tepatnya, di sebelahnya. Sibuk mengipas-ngipas lehernya dengan kedua tanganya itu. "Panas banget gila!" lirihnya.

Wahyu tidak mengubris, dia tidak peduli juga. Dan lagi pula, dia ada janji dengan seseorang soal hal 'menjauhi'.

"Gue nggak tahu lo ada apa dengan dia, tapi gue rasa lo nggak ada urusannya kan? Deket-deket dia? Terutama halangin gue. Paham,kan? Apa maksud gue?"

Matanya menyipit, dia meringkis sebal. Tanpa di peringati oleh si pembalap sombong itu, dia pasti menjauh. Untuk apa juga dia harus berurusan dengan cewek pikun? Dia tidak bisa bersama perempuan yang dengan begitu mudah melupakan dirinya yang berkharisma ini, harga dirinya bisa hancur.

Sejenak Wahyu diam. Lalu melirik Fifi di sampingnya. Gadis itu masih mengipas dirinya, sibuk mendumal dengan suara kecil. Mata Wahyu tidak berhenti menatapnya, mulai menjelajah selain kepada wajah perempuan yang tidak punya daya tarik apapun itu.

Awalnya dia tertarik dengan tangan gadis itu yang sejak tadi menggangunya, tapi entah kenapa matanya malah menyasar pada leher berkeringat itu. Rambut panjang Fifi di ikat seperti ekor kuda, jadi lehernya yang berkeringat itu terlihat sangat menggo----

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang