-¦- -¦- -¦- 13 -¦- -¦- -¦-

40 4 0
                                    

Motor matic berwarna biru tua berhenti tepat di depan rumah hijau berlantai kramik. Banyak tanaman di halamannya, kebanyakan sih bunga warna warni bersama rumput yang terlihat terurus dan satu pohon mangga yang cukup besar di ujung. Wahyu turun dari boncengan Iqbal. Wajahnya terlihat lesu, jalannya malas. Tasnya bahkan hanya dia gendong dengan pundak kirinya.

"Yu!" tahan Iqbal.

"Apaan?" katanya malas. Dia ingin cepat masuk ke rumah, mandi lalu cepat tidur. Ya, padahal waktu baru jam lima sore. Tapi dia tidak bercanda, hari ini dia lelah sekali.

Sepupunya itu, memasang wajah melas. Kembali memohon. "Ayolah! Tar malem, gue yang ke rumah lu dah,"

"Gue kaga mau, Bal!"

"Elah, penting ini, Yu! Gue pengen ketemu orang di sono." katanya.

Wahyu berdecak. "Gue bilang kaga mau, ya nggak mau. Lagian lo mau ngapain sih? Ngebet banget,"

Iqbal menarik senyuman, malu sendiri. "Ada yang mau kenalin gue sama cewek. Cantik, ayolah! Kesempatan sekali doang. Tar gue bilang juga deh, lo juga di kenalin sama cewek yang lain." bujuknya. "Ya! Mau, ya?"

"Ogah, Bal!"

"Kalau masalah soal si Dewa, nggak usah takut. Si Dewa malam ini lagi free. Libur dulu dia, baru menang kemarin tuh bocah. Mungkin lagi foya-foya dulu di club. Jadi, lo jangan malu,"

Kesal terus di panas-panasi. Dia menatap Iqbal marah. "Bal! Gue bilang kaga mau. Dan gue udah bilang, gue nggak malu soal gue kalah sama tuh bocah kemarin. Ngapain juga gue harus malu sama pembalap liar sombong ke dia. Harga diri gue bisa di injek-injek,"

"Ya, tapikan---"

"Udah, ya! Lo kalau mau pergi-pergi aja. Kalau lo takut gue bakalan bongkar ke emak lo, itu nggak usah lo pikirin. Gue sebisa mungkin malah nggak ngebahas soal tempat balapan itu,"

"Iya! Gue tahu, cuman---"

Kepala Wahyu menggeleng, dia sudah muak. Tanpa pamit dia pergi masuk ke dalam rumah. Iqbal yang menanggilnya tidak dia gubris, kalau dia terus meladeni sepupunya itu. Bahkan sampai azan isya tidak akan selesai. Lagipula, dia itu benar-benar tidak mau datang ke sana. Alasan utamanya memang dia gengsi, tapi selain itu rasa kantuk dan alasan konyol lainnya juga membuat dia tidak bisa datang ke sana.

Pintu kayu jati itu di dorong, Wahyu berjalan masuk ke arah kamarnya begitu pintu di tutup. Dia juga ikut menutup pintu kamarnya, melempar tas hitam enteng itu ke atas kasur. Melompat merebahkan diri.

Wajahnya dia sembunyikan pada bantal, lelahnya memang sedikit hilang. Tapi pikirannya masih melayang kemana-mana.

"Ya, gue nggak tahu lo sadar atau nggak sih. Tapi pertemuan kita berdua tuh udah kaya cerita novel-novel yang pasaran. Gue ketemu lo di metro, lo nolongin gue, lo ternyata jadi anak baru di sekolah gue, sekelompok dan lo juga melecehkan gue"

Suara gadis itu kembali teriang, sebagai laki-laki dia cukup geram. Buru-buru duduk di pinggir kasur, lidahnya berdecak keras. "Sembarangan aja tuh cewek kalau ngomong. Kebanyakan nonton sinetron sih, tuh cewek!" gumamnya. "Gue tahu itu fakta, emang itu yang terjadi. Ya, cuman---"

"Trus habis itu apa? Gue suka lo, lo suka gue. Konflik, ribut di sana sini. Trus jadian, trus nikah? Gitu?"

Wahyu menyeringai kesal.  Tubuhnya dia rebahkan di atas ranjang, menutup matanya rapat-rapat. Sekali lagi memikirkan kenapa bisa dia bertemu dengan gadis pikun, bolot dan sekarang dia tahu gadis itu sangat percaya diri soal hal itu. Oh, sejujurnya dia tidak ingin berkomentar lebih jauh mengenai hal itu. Untuk apa juga dia harus melakukan apa yang gadis itu katakan? Mungkin ya jika dia sudah gila. Dia itu hanya penasaran dengannya, habis gadis mana yang tiba-tiba membuat dia ketakutan setengah mati hanya karena sebuah makalah berisi tugas kelompok mereka itu.

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang