-¦- -¦- -¦- 46 -¦- -¦- -¦-

42 3 0
                                    

Lampu merah menyala di perempatan. Dua motor berhenti di salah satu jalan. Jarak mereka cukup berjauhan. Dewa si pengendara motor Ninja hijau ada di kiri jalan sedangkan pemilik Ninja hitam yang tidak bukan adalah Abim berdiri di sisi lain. Tidak ada pengendara lain selain mereka. Jalanan kosong yang terlihat hari ini seperti khusus untuk mereka berdua. Geberan mereka terdengar ganas, sesekali melirik. Tatapan sengit mereka tersembunyi di balik helm.

Lima menit sebelum mereka berada di jalan raya. Mereka masih mengobrol di bawah tenda panita. Setelah Dewa mengiyakan resiko yang dia dapat untuk merebut tempat Abim sebagai ketua, Beni dan Jarot pergi pamit. Mereka tidak tahan berada di sekitar dua orang gila itu. Selain takut terkena imbas, mereka tidak mau jadi saksi untuk pertandingan mereka nanti. Percakapan mereka berubah jadi sangat serius. Abim duduk di salah satu kursi, meneguk minuman bersoda.

"Gue nggak nyangka lo tanpa pikir panjang ngeiyain," lirih Abim.

Dewa menarik seringai. "Kenapa? Baru tahu gue ini lebih gila dari pada si Wahyu?"

"Wahyu?" Abim mengeleng. Menuang kembali minuman bersoda ke gelas, dia teguk habis. "Wahyu juga gila. Mungkin lebih gila dari pada lo. Cuman dia itu kurang perhitungan aja. Gila tapi nggak cerdas," katanya. "Kadang sial kadang beruntung juga tuh orang,"

"Jadi, selama ini ketuanya itu lo? Hah! Pantes nggak pernah keliatan. Orang-orang banyak ngomongin ketua-ketua tapi nggak pernah muncul orangnya dimana. Mana kepikiran si ketuanya ada di Pusat,"

"Gue tadinya anak Barat," jawab Abim. Dia merubah posisi duduknya. Menghadap Dewa. "Pindah ke Pusat. Sebelum ini, abang gue yang jadi ketua. Tapi setahun yang lalu abang gue lulus sekolah, masuk kuliah. Katanya tugasnya numpuk. Ya, akhirnya gue yang handel nih tempat. Trus malah pindah ke Pusat."

"Abang lo sendiri yang minta lo?" tanya Dewa.

Abim menaikan bahunya. "Nggak juga. Gue yang ajuin diri,"

Dewa menarik senyuman. Menganguk senang. "Yaudah, lebih jelas harusnya gue ketemu abang lo. Dia yang punya hak siapa yang bakalan gantiin posisi dia,"

"Nggak perlu! Abang gue ada di Pusat. Lo mau sekarangkan ambil posisi gue?"

"Iyalah!"

"Gampang! Lo tinggal balapan sama gue. Kita tanding." kata Abim. "Jalurnya nggak jauh kok, kita pake di jalan raya ramai. Startnya perempatan di depan sana, lo tahu jalan Emul trus Joko. Muterin nanti ujung-ujungnya tembus ke sini. Finisnya di tenda panitia." jelasnya. "Kalau lo menang, ya gue dengan terpaksa kasih posisi ketua itu ke lo,"

Dewa menyipit. "Trus kalau gue kalah?"

Abim bangun, dia berjalan menjauh tenda. Berdiri di atas aspal. Menendang sebuah kaleng di sana. "Lo tahu nggak alasan gue ada di sini?"

"Lo di sini? Ngurusin nih tempat, kan?" tebak Dewa. Dia ikut mendekat. Bedanya, dia pergi ke arah motornya. Menyender di sana.

"Ya, tapi alasan utama gue ke sini. Gue harus kasih lo pelajaran!"

"Maksud lo?"

"Iksan nyuruh gue kasih lo pelajaran. Lo kemarin itu gangu banget. Sok jadi pahlawan dengan bawa orang-orang lo itu. Harusnya urusan Iksan sama Wahyu nggak usah lo ikut campur," ucap Abim.

Dewa ternohok. "Denger ya! Gue kasih tahu sama lo! Kemarin itu gue nggak ada niatan mau nolongin si Wahyu itu. Gue cuman ada urusan sama temen lo yang udah beraninya nampar cewek. Sekaligus dia keroyok temen gue ampe masuk rumah sakit. Si Wahyu? Gue sebenarnya nggak peduli. Kalaupun dia mati di tangan lo pada, gue seneng,"

Abim tertawa kecil. "Ok ok! Tapi tetep lo udah gangu kita! Dan Iksan nunjuk gue langsung buat kasih lo pelajaran,"

"Hah!" gerutu Dewa malas. "Maksud lo apa sih udah cepet,"

How To Meet You [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang