Jantungnya kini tengah di bombardir oleh rasa cemas. Tak henti berpacu begitu cepat sampai alas sepatu Nami berhasil menyentuh ubin tepat di depan pintu ruang dosen pembimbingnya.
Choi Siwon, pria mapan bertitelkan master pada ujung namanya kini tengah menatap Nami datar dengan kacamata yang menduduki batang hidung bangirnya.
Tatapan yang ia lemparkan berbeda seperti biasanya. Bisa dibilang, tatapan itu mengisyaratkan bahwa dirinya sedang merasa kesal sekaligus kecewa.
Nami adalah salah satu mahasiswa kesukaannya karena ia sering kali menuangkan ide-ide bagusnya pada lembar tugas. Jadi tak heran pak Siwon sering bersikap ramah. Namun kali ini, entah kenapa semuanya berbanding terbalik.
Pak Siwon membentangkan lembar gambar tepat diatas meja. Lalu memberi isyarat agar Nami menatap itu. Alis Nami berkerut. Nama beserta NIM-nya berada di format gambar tersebut. Tandanya itu adalah lembar gambar miliknya. Nami melirik pak Siwon ragu, seolah bertanya 'apa ada yang salah dengan gambar ini?'
"jelaskan pada saya, kenapa kau menjiplak gambar orang lain" kalimatnya santai, namun berhasil membuat Nami mati kutu. Lidahnya kelu, tak dapat bergerak sepata katapun. Pun ia baru menyadari bahwasan betapa bodohnya dirinya tadi malam.
Terkutuk lah Park Nami, kau benar-benar dalam masalah besar. Mengingat kalau itu adalah hasil tangan Jin yang bodoh dan tak memiliki pemikiran panjang. Tentu saja ini akan menjadi pinalti sebelum ia mendapatkan kartu merah. Nami baru saja mengibarkan bendera perang pada dosen sedangkan dirinya sama sekali tak memiliki senjata apapun
"Park Nami!-"
"biarkan saya yang menjelaskan ini" suara tak asing mendarat mulus masuk ke rungu dan membuat keduanya mengalihkan atensi pada seorang pemuda yang tengah berdiri dibawah ambang pintu.
Tak ada kata permisi atau izin, Kim Seok Jin seenak jidat masuk dan duduk dengan santai dihadapan Pak Siwon.
"sebetulnya, anak ini meminta bantuan saya untuk mengerjakan tugas ini pak"
Pria berumur 30an itu sejenak diam. Mendelik Jin remeh disertai tersenyum sarkas terbit secara tiba-tiba, "lalu, kau kira saya akan percaya?"
"bapak harus percaya-"
"alibimu tidak akan membuat saya percaya begitu saja. Mana mungkin kau membantu orang lain? Sedangkan tugasmu sendiri jarang sekali kau sentuh, iya bukan? Jangan lupa saat di semester empat, hanya saya yang berani memberi nilai D untukmu. Karena apa? Karena nilai saya adalah mutlak. Ayahmu, takkan mampu membeli itu. Para dosen yang lain mungkin mudah tahluk dengan uang, tapi tidak dengan saya"
Perkataan menohok itu meluncur bebas tanpa batas, membenturkan diri tepat di saraf terdalam jantung Jin. Membuat dirinya tak mampu lagi bergerak atau bahkan mengedipkan mata. Tersinggung? Jelas. Tapi itu fakta.
Bisa dibilang, bagi Jin kuliah adalah sebuah formalitas agar dirinya bisa mendapatkan gelar kelak. Namun usaha? Nol. Ia selama ini hanya membeli nilai dengan uang ayahnya.
"kalian berdua, ambil surat peringatan lalu serahkan pada saya"
Hal yang paling Nami takutkan akhirnya terjadi. Pak Siwon, menggulung kertas gambar tadi dan merapikannya kembali. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah Nami tang terlihat sedikit shock.
"baiklah" jawab Jin santai lalu berbalik.
"ingat, kau sudah memiliki berapa surat peringatan di semester ini" ucap pak Siwon saat Jin sudah berada di bawah ambang pintu.
"hidupmu akan menjadi sia-sia jika kau mengoleksi surat peringatan. Atau mungkin kau hanya akan menjadi mahasiswa abadi. Memalukan" sambungnya sinis disetai kekehan remeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
HACKNEY ;ft.김석진 [M] [✔]
Fanfiction[⠀⠀ ⠀; COMPLETE ⠀⠀ ] Jika saja kejadian kelam itu tak pernah singgah didalam hidupnya, mungkin Kim Seok Jin tak pernah bertemu dengan seorang pria paruh baya yang tega menjual anak gadisnya demi uang dan hawa nafsu. "seharusnya ak...