20. Sensitif

3.5K 473 15
                                    

Terlalu sulit untuk aku memberikan kepercayaan padamu lagi.

Terlalu sulit untuk aku memberikan kepercayaan padamu lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

Koreksi kalo ada typo biar gampang ngerevisinya.

Hari minggu sore, seperti biasa di kediaman Beni Jayadi selalu digunakan untuk family time. Dua anak laki-lakinya duduk berdampingan di atas karpet. Sedangkan ia bersama Winara --istrinya-- duduk di atas sofa dengan mata yang tertuju ke arah televisi.

"Ish di indonesia tuh gini ya, lagi seru-serunya malah iklan," runtuk si bungsu kesal melihat sinetron yang lagi tegang-tegangnya malah digantikan dengan tayangan iklan.

"Emang udah biasa," timpal si sulung.

Si bungsu mundur untuk bersandar di sofa,  lalu membalikan tubuhnya dan meletakkan kepalanya di pangkuan sang mami.

"Udah gede masih aja manja," sindir suami dari wanita yang sekarang sedang mengelus rambut hitam si bungsu.

Yang disindir langsung menegakkan tubuhnya untuk menatap Beni. "Sirik aja, Papi mah," dengusnya.

"Kak Al!" Panggilnya.

"Hemm."

"Gak ngerti lagi sama orang yang irit ngomong."

"Iya, apa Renaldo?" Akhirnya Al ikut memundurkan tubuhnya agar sejajar dengan sang adik.

"Gak papa, cuma ngetes doang. Kakak kalo lagi sendiri telinganya suka dipasang apa dicopot dulu." Aldo nyengir.

Al mendengus. "Ngaco banget."

"Oh iya, gimana sekolahnya, Kak, Nal?"

"Baik, Pi. Seperti biasa." Al memberi tahu.

"Kamu gimana, Renal?" Beni kini bertanya pada si bungsu.

"Baik juga, Pi. Lagi berjuang Renal tuh."

"Berjuang apa? Adaptasi sama lingkungan baru?" tanya Beni penasaran. Masa iya, anak hiperaktif macam Aldo masih belum bisa beradaptasi. Kalau anak sulungnya sih Beni percaya, jika susah beradaptasi karena memang sangat pendiam.

"Bukan. Berjuang supaya si mantan mau diajak balikan," ujarnya sungguh-sungguh dengan raut wajah konyol.

Wina langsung menjewer telinga anak bungsunya. "Bukannya belajar kamu ini!" hardiknya.

"Aw... sakit, Mi."

"Udah, Win." Beni melerai.

Al tertawa kecil melihat interaksi papi, mami, dan adiknya. Ia masih tak percaya jika masih mempunyai keluarga utuh yang harmonis. Dulu, Al hanya bisa berangan-angan mempunyai sosok ibu yang perhatian bersama ayah yang penyayang. Karena sebelumnya ia tak mengetahui keberadaan wanita paruh baya yang sekarang sedang mencebikkan bibirnya itu. Sekarang sudah nyata di depan matanya.

MIKADO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang