3. Perkara Helm

7.6K 960 91
                                    

Sekuat apa pun aku menghindarimu, pada akhirnya duniaku tetap bersinggungan denganmu.

Happy Reading!

"Selamat pagi Ibundaku tercinta," sapaan riang dari Mika menjadi pembuka di pagi hari ini.

"Selamat pagi juga anak gadis Mama! Kebiasaan nih tiap hari nama panggilan ke Mama gonta-ganti terus. Heran." Mila menenggelengkan kepalannya.

Hari ini ibunda, kemarin mama, kemarinnya lagi mami, lebih parah tuh kalau sudah manggil momma. Belum lagi kalau sudah memanggil kanjeng ratu, ada-ada saja kelakuan putri bungsunya itu.

"Biar Ibunda gak bosen dengernya, aku 'kan anaknya aktif dan kreatif, Bun."

"Oh kamu anaknya aktif dan kreatif? Berarti bukan anaknya Mama, ya?"

"Gak gitu konsepnya, Bun," ujar Mika memberenggut.

"Bang Dut mana, Bun? Keburu siang nih," tanyanya sembari sibuk mengunyah roti.

"Ditelen dulu tuh makanannya, muncrat nih ke muka Mama," tegur Mila.

Pemuda yang diperkirakan berusia sekitar 22 tahun yang tengah dibicarakan itu, baru saja menduduki salah satu kursi yang ada di meja makan tersebut.

"Bang Dut berangkat yuk! Nanti Kay telat nih." Mika berseru kencang.

"Sabar Saodah, baru juga mau nyuap."

"Ibunda, Abang manggil Kay Saodah mulu," Mika mengadu kepada ibunya dengan raut wajah seolah paling tersakiti.

"Gak papa sayang, nanti Abang gak akan mama kasih makan." Anak sama ibu memang tak ada bedanya. Duta yang sudah terbiasa menjadi pihak yang teraniaya hanya mampu bersabar.

"Eh tau gak sih, mama kemarin dipanggil bumil sama istrinya Pak RT. Padahal mama gak hamil, keliatan gendut emangnya?" Mila antusias menceritakan hal tersebut.

"Ibundaku tercinta, 'kan Bunda namanya Mila. Jadi kalo Bu RT manggil bu Mila itu kepanjangan, jadi di singkat jadi bumil bukan artinya ibu hamil," Mika gatal ingin menyahut, belum lagi ibunya ribet sekali alih-alih manggil Bu RT malah jadi istrinya Pak RT.

Duta yang menyimak obrolan dua perempuan yang ia sayangi itu hanya mengusap dadanya.

Kalo bukan Mama gue udah gue bales sama kata-kata mutiara gue yang pedesnya level sepuluh, runtuknya dalam hati.

"Ibunda, Ayahanda kapan kah pulangnya?" Mika mengalihkan obrolan absurd tersebut.

"Minggu depan Sayang," Mika mengangguk mengerti, tapi tiba-tiba bergumam. "Dasar bang toyib."

"Abang cepet ih, kalo sampe telat Kay aduin sama Kak Caramel kalo Abang tuh pacarnya banyak."

"Mana ada gue kayak gitu." Duta dengan cepat memasukkan roti kedalam mulutnya.

MIKADO [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang