33. Kami Belum Tentu

377 63 72
                                    

jangan bandel please aku takut dikejar ibumu, anak-anak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

jangan bandel please aku takut dikejar ibumu, anak-anak. 🔞


✨✨

tuan berjas hitam: jgn lupa dicuci!!

tuan berjas hitam: udh lama bgt nih.

tuan berjas hitam: saya tunggu besok sore. nanti saya krm alamat rumah saya. anterin! jgn manja!

Bukan hanya aku yang muak ketika membaca pesan-pesan di atas, kan?

Dear Pak Deril yang hebat dan pekerja keras, aku rasa kami berdua memang tidak akan pernah cocok. Kalau bukan karena kasus yang melibatkan Mas Bumi, aku sebenarnya juga akan menghindari lelaki itu bagaimanapun caranya. Terima kasih sebanyak-banyaknya untuknya, tapi bukan berarti dia bisa menjadikanku babu. Akhir-akhir ini dia juga berubah menjadi peneror menyebalkan. Apa lagi yang dia katakan padaku? Jelas teror untuk segera mencuci jasnya yang dia pinjamkan padaku hari itu. Oh, hampir lupa! Sapu tangannya juga.

Memangnya dia hanya punya satu jas saja, ya? Dia pasti punya banyak. Aku yakin itu. Nenek-nenek salto juga bisa melihat betapa kayanya Pak Deril. Dia punya aura orang-orang berduit banyak. Dia pasti punya jas sebanyak satu lemari, jadi semestinya dia tidak perlu terus-terusan menerorku.

Apalagi keadaan tubuhku sedang tidak baik. Aku merasa mual dan tidak nafsu makan. Ditambah kepalaku yang tidak tenang harus menyelesaikan revisi dari Pak Wasesa dan mengurus Mas Bumi yang syukurnya sudah mendapat pekerjaan.

Omong-omong tentang informasi yang dibawa oleh Alinea tempo hari, aku masih belum mampu membahas itu dengan Mas Bumi. Bukan apa-apa, aku saja yang pengecut. Rasanya sulit sekali membuka mulut. Air mataku mendesak seperti pendemo di depan istana presiden. Belum bicara apa-apa, aku mungkin sudah menangis terisak dengan jantung berdarah-darah.

Sulit sekali ingin membahas hal itu. Ada ego dan amarah yang berkobar di dalam sana. Begitu juga rasa kecewa yang tidak bisa aku kendalikan. Kekecewaan itu mengikis rasa percayaku terhadap Mas Bumi. Tiap kali menyambut kepulangannya, aku selalu terbayang skenario jahat tersebut; tentang dia dan Tatjana yang akan punya bayi.

Aku pun sadar, terlalu lama menunggu waktu yang tepat, aku mungkin justru tak akan pernah menemukannya. Pilihannya hanya dua dengan hasil yang sama saja; ajak bicara dan tersakiti sekarang, atau ajak bicara dan tersakiti nanti.

Hasilnya sama.

Tidak menguntungkan sama sekali.

Seperti tak ada gunanya meksipun diberi dua pilihan, karena ujung-ujungnya aku tetap akan terluka. Aku yang akan merasakan dadaku robek, sedangkan Mas Bumi mungkin akan melarikan diri. Seandainya aku mengajaknya bicara perihal kehamilan Tatjana, sudah jelas kalau dia tidak akan memilihku. Dia akan dan harus memilih ibu dari bayi itu.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang