38. Anak dari Bumi (Rest)

561 64 41
                                    

“kamulah saksi bisu, keringat dan air mataku.”

✨✨

Kita bisa berencana, Tuhan yang mengatur semuanya.

Niat awalku memang ingin segera mendatangi alamat yang dikirimkan oleh Megantara. Apalagi dia mengirimkan beberapa chat lagi, mengatakan bahwa alamat itu bukan alamat rumah barunya melainkan alamat yang berkaitan dengan Mas Bumi.

Aku tidak paham apa maksudnya, tapi mungkin di sana adalah tempat Mas Bumi dan Tatjana tinggal bersama. Entah, aku hanya bisa berspekulasi seorang diri. Aku pun tak ingin memercayainya, masih nyeri tiap kali membayangkan Tatjana yang akan menjadi wanita di hidup lelaki itu. Tapi, katanya, seorang bajingan memang cocok bersama dengan bajingan lainnya.

Mereka satu level.

Alasan mengapa aku dan Mas Bumi berpisah adalah perbedaan level. Dia terlalu pengecut untuk wanita hebat sepertiku.

Tentu saja, aku tidak akan memasang harga murah. Semakin memberinya cinta, maka dia semakin semena-mena. Saat dia tahu bahwa aku selalu memberi maaf, maka dia akan mengulangi kesalahannya tanpa ketakutan. Dia beranggapan bahwa semua tingkahnya akan diterima dengan lapang dada, karena dia tahu bahwa aku mencintainya.

Tuhan mengatur jalanku hari ini. Memilih untuk menunda keinginanku untuk pergi ke alamat itu, aku justru kembali ke Magelang. Ada kabar dari Bulik Maharani kalau seorang bajingan datang mau menemui ibuk.

Ya, bajingan lainnya.

Terlalu banyak bajingan di hidupku, ya?

Kami buru-buru kembali ke Magelang, dan benar saja, wajah bajingan itu menyapaku dan Jasonna. Kak Putera menyuruh kami bertiga untuk bicara di ruang tamu, sedangkan dia yang akan mengeluarkan semua kardus dan baju dalam koperku. Dia pun juga memberitahu Paklik dan Bulik untuk tidak ikut campur dan memberi waktu.

Tanpa Mas Putera, kurasa semuanya akan berantakan. Apalagi saat amarah hampir mencapai ubun-ubunku. Tanganku terkepal, siap meninju wajah bajingan itu sampai memar.

Pada akhirnya, ruang tamu di rumah Mbah dikosongkan. Mbah Kakung dan Mbah Putri mengungsi ke rumah anaknya yang lain. Sementara itu, ibuk sudah diamankan ke rumah Bulik Maharani karena dia tidak bisa berhenti menangis setelah melihat wajah lelaki bajingan itu.

Dulu dia bernama ayah, kini dia bernama sampah.

Suasana di ruang tamu berubah menjadi dingin dan menegangkan. Suara rintik hujan di luar sana menjadi backsound peperangan keluarga yang sebentar lagi akan terjadi. Kami hanya sedang merangkai serangan saja, kemudian akan saling menghancurkan.

Aku ingin sekali menghancurkannya, melihat dia memohon ampun sembari berlutut di depan mataku. Aku janji pada diri sendiri, bahwa aku akan membuat dia menyesali perbuatannya.

Aku pandai menyakiti orang lain, maka aku pasti juga bisa menyakitinya walaupun kami punya golongan darah yang sama.

Lelaki itu mulai bicara, “Kalian pasti tahu kalau manusia itu makhluk yang berubah-ubah, kan? Ayah sering bilang gitu sejak kalian masih kecil."

Jason yang duduk di sebelahku terlihat mengepalkan tangan kuat-kuat. Lalu, dia menyeringai, “Selain bilang gitu, Anda juga suka mukul saya. Bilang kalau saya adalah anak durhaka karena milih musik padahal enggak ada gunanya.”

Aku menarik senyum tipis setelah mendengar ucapan Jasonna. Lalu, aku mengulurkan lengan untuk meraih kepalan tangan Jason. Aku mengelusnya lembut dan, “Ya, Anda bilang kalau manusia itu berubah-ubah. Terus, kenapa? Anda mau menggunakannya sebagai alasan, ya? Gampang banget dibaca.”

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang