::paling bener OST cerita ini tuh lagunya Feast yang Peradaban.
✨✨
Butuh waktu beberapa saat sampai aku berani memutar gagang pintu untuk masuk ke ruang rawat inap Bu Jamila. Aku ingin dia memiliki waktu untuk berduka ketika tadi Jiwaraga sudah masuk lebih dulu dan memberitahukan perihal kematian suaminya, Antares.
Lelaki itu sudah bertahan, tapi Tuhan memiliki kehendak lainnya. Racun sudah menyebar ke seluruh tubuhnya, sehingga dia tidak bisa diselamatkan.
Dari informasi Kak Brian, rupanya racun itu ditemukan di bekas gelas jus jeruk yang dia pesan dari kafetaria kemarin. Dia meminumnya berkali-kali, sedangkan aku tidak menyentuhnya sama sekali. Kalau aku juga meminumnya, apakah aku juga akan pergi dari dunia? Tapi sampai saat ini, Kak Brian belum menemukan pelaku yang memasukan racun ke minumanku dan Antares. Banyak staf kafetaria yang diselidiki, tapi belum ditemukan titik temunya.
Semua kesaksian perlu disatukan dan dianalisis untuk waktu yang panjang.
Aku menelan saliva kasar, kemudian membuka pintu ruang rawat inap tersebut. Aku masuk sendirian, tanpa Jiwaraga karena bocah itu punya urusannya sendiri. Sementara itu, Jasonna dan Galuh dikirim untuk memantau rumah orang tua Megantara—mereka membeli rumah di dekat UGM supaya mereka bisa mengurus kasus pembunuhan anaknya dari jarak dekat.
Sebenarnya hasil dari rekaman kamera mobil sudah cukup kuat untuk menyeret mamanya Megantara ke penjara, tapi Pak Adam masih ingin lebih detail lagi. Lelaki itu sungguh pekerja keras.
Ketika aku selangkah memasuki ruang rawat inap tersebut, mataku langsung melebar sempurna dan aku berlari mendekat ke arah ranjang. Mataku menatap lurus ke arah lelaki itu, kemudian aku menjauhkan jangkauannya dari Bu Jamila.
“Mau apa?!” tanyaku, galak.
Wasesa La Anggara menyunggingkan senyum tipis yang terasa miris. Lalu, “Saya cuma pengin menjenguk Bu Jamila dan mengucapkan bela sungkawa atas kepergian Pak Antares.”
Aku menoleh ke arah Bu Jamila yang masih terbaring lemah di atas ranjang, lalu bertanya, “Dia beneran enggak melakukan apa pun ke Ibu, kan?”
Bu Jamila mengelengkan kepala. Lalu, “Tenang aja, Wasesa enggak melakukan apa-apa, kok.”
Aku bernapas lega, kemudian mendorong bahu Wasesa supaya dia segera enyah dari sini. Aku mengatakan, dengan sorot nyalang, “Udah enggak ada urusan, kan? Mending pergi sana, rapat sama bosmu itu. Sore ini, dia bakal dijemput paksa jadi waktunya buat foya-foya udah enggak banyak.”
Wasesa tidak memberiku respon, tapi dia masih tersenyum miris.
Aku tertawa, meremehkan, “Kamu juga bakal diinterogasi nanti, jadi siapkan jawaban. Kamu katanya genius, kan? Siapkan jawabannya dari sekarang, atau bikin taktik sana biar kamu enggak masuk penjara!”
Aku memaksanya untuk pergi, mendorong tubuhnya yang kokoh dan tinggi sampai hampir ke dekat pintu. Entah mengapa, aku ingin menangis dan marah. Tak aku sangka, lelaki ini terlibat dengan kasus prostitusi, korupsi, dan perdagangan gadis-gadis remaja ke luar negeri.
Aku ingin tahu mengapa dia melakukan itu, tapi Kak Brian bilang bahwa aku harus menahan semua pertanyaan itu karena dia yang akan melakukannya nanti di ruang interogasi yang panas itu.
Wasesa menahan lenganku, lalu dia menatap mataku dalam-dalam. Itu menakutkan, meksipun aku tahu kalau dia tidak sedang mencoba menakutiku.
“Apa?” tanyaku, sok berani.
“Kamu enggak pengin tanya sesuatu?”
Aku menahan napas untuk sejenak. “Bukan tugas saya buat tanya-tanya ke kamu.”

KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI & EVAKUASI
Fanfiction[Original Fiksi/🔞] - "Bukannya kamu yang bunuh dia? Kamu bilang, kamu mau membunuh orang itu untuk aku." (Brave Series #3) Jogja identik dengan hal-hal klasik, indah, dan romantis bagi banyak orang. Tapi, bagi Gizka, Jogja juga adalah rumah. Dia in...