61. Christmas Tree

287 27 10
                                    

**

Pohon Natal yang begitu tinggi menghiasi ruang tamu yang begitu luas. Aku berpikir kalau ruang tamu ini bisa saja digunakan untuk bermain futsal. Sayangnya, anakku perempuan dan dia juga masih bayi. Mana bisa diajak bermain futsal?

Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini, aku juga terkesima. Aku tidak tahu Pakde Logan mempunyai rumah seluas ini. Meskipun katanya aku pernah diajak berkunjung saat usiaku lima tahun, tapi memori itu tampaknya terbawa angin karena aku tidak bisa mengingatnya.

Sayang sekali.

Kami semua baru saja menyelesaikan maka malam, dan Dokter Juanda tengah asyik bermain catur bersama Pakde di sofa. Sementara itu, aku duduk di atas karpet bersama lelaki ini. Duduk menghadap pohon Natal yang dihiasi lampu kelap-kelip warna merah.

Jujur saja, wajahnya mulai samar-samar. Apalagi kita juga baru bertemu beberapa kali sebelumnya. Dia belum terlalu familiar untukku. Kehadirannya di sini juga terasa asing. Apa yang membawanya ke mari?

“Jarrel,” panggilku, sembari mengusap-usap lengan bayi yang tertidur pulas di hadapanku. Bayi perempuan itu berbaring dengan selimut hangat, setelah aku sempat memberinya asupan ASI tadi—sebelum para lelaki ini datang dari arah dapur karena aku menyelesaikan makan malam lebih dahulu. Aku juga yang duluan berada di ruang tamu ini.

Lelaki itu menoleh dan tersenyum padaku. “Ya?”

“Kenapa kamu ada di Amerika?”

I live near here," jawabnya, santai. “Setelah resign dari rumah sakit, aku pindah ke sini. Aku sekolah lagi di sini, sekalian penelitian di salah satu kampus sekitar sini. Kamu mau lihat? Kapan-kapan aku ajak tour kampus aku. Keren, lho!”

Aku mendengarkan jawabannya dengan seksama, lalu, “Boleh aku tanya sesuatu?”

”Apa itu?” Jarrel mengangkat sebelah alisnya, kemudian dia mengalihkan perhatiannya kepada bayi perempuanku yang sedikit menggeliat. Dia menambahkan, “She’s pretty, like you. Namanya Heaven, kan?”

Aku mengangguk, tak terpengaruh dan tetap melempar tanya, “Kenapa waktu itu kamu mau bantu aku ungkap kasus Megantara? Aku tahu karir kamu lagi bagus banget, kan? Kak Audi bilang ke aku kalau kamu lulusan terbaik di UNPAD. Kamu adalah dokter forensik yang diperhitungkan. Tapi, kamu memilih bantu aku dan resign."

Jarrel menggeser duduknya supaya lebih dekat denganku. “Mau jawaban sok keren atau jujur?”

Aku mengerutkan kening. “Hm?”

“Jawaban sok keren, aku pengin membela kebenaran. Hasil autopsi Megantara dimanipulasi supaya kelihatan penyebab kematiannya adalah karena tusukan benda tajam—pisau. Padahal, penyebab kematian sebenarnya adalah racun yang ternyata udah menyebar luas di dalam tubuhnya. Dia minum racun itu secara berkala, sampai akhirnya melukai organ-organ dalam di tubuhnya. Dan, ketika dia kena tusukan pisau, tubuhnya enggak mampu menahannya. Tubuhnya udah lemah, Gizka.”

Dadaku kembali nyeri setiap kali aku mengingat bagaimana mereka membunuh Megantara. Memang benar, Megantara bunuh diri karena meminum racun yang entah apa namanya. Intinya racun itu membunuh secara berkala, menyerang organ-organ dalamnya perlahan-lahan sampai tubuhnya tidak punya perlindungan diri lagi. Fisiknya melemah, ketika dia kehilangan banyak darah.

Bagaimana bisa mereka melempar semua sampah ke wajah Megantara?

Megantara juga tidak minta terlahir ke dunia. Kalau bisa memilih, bocah tengil itu juga tidak ingin dilahirkan di tengah-tengah keluarga amatir itu. Papa yang hanya mengincar uang dan kuasa, tapi masih mencintai keluarga lamanya—Keluarga Wasesa La Anggara. Dan, mamanya yang tidak dicintai tapi melampiaskan semua kemarahan itu kepada Megantara.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang