48. Monokrom (As Soon As Possible)

336 45 39
                                    

🚫 duduk yang tegap, siapkan buku catatan kalian dan mari kita belajar pasal-pasal bersama!! 🕵️🤍

✨✨

Setelah melambaikan tangan ke arah Pak Wasesa dan mobilnya, aku masih menyinggungkan senyum manis yang semoga bisa dipercaya.

“MAKASIH BANYAK, PAK!”

Lelaki berkemaja biru muda itu menekan klakson mobilnya, kemudian melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah mbah.

Mataku mengikuti kuda besi itu sampai bayangannya tidak bisa kulihat lagi, kemudian aku segera berlari ke salah satu rumah joglo yang di mana ada rangkaian bunga mawar tumbuh di halaman rumahnya.

Ya, rumah yang menjadi saksi bisu pertemuanku dengan Rakabuming saat dia menjenguk bayi dalam kandunganku ini—bayinya. Dan juga, tentang pengakuan bejat bahwa dia meniduri aku saat aku dalam keadaan tak sadarkan diri. Secara garis besar, aku diperkosa olehnya dan dia pantas dicaci-maki ibu-ibu seluruh Indonesia.

Sayangnya, aku masih baik padanya. Bahkan keluargaku tidak tahu perihal cerita itu. Jasonna juga sengaja tidak kuberitahu, karena aku takut kalau Rakabuming akan kehilangan salah satu tulang rusuknya akibat tendangan dahsyat adik lelakiku itu. Omong-omong, Jasonna kan pemegang sabuk hitam.

Paklik,” sapaku hangat pada salah satu adik ibu yang juga merupakan ayah dari Kak Brian dan Putera. Paklik sedang meneguk kopinya di teras rumah, tampaknya baru kembali dari kantor kelurahan dilihat dari seragamnya. Paklik bekerja sebagai salah satu staf di kantor kelurahan. Dia cukup dihormati di kampung ini. Tanpa menunggu balasan, aku langsung bergegas masuk dan mendorong pintu kamar yang dicat hijau tua itu. Aku bertanya dengan nada tinggi, “GIMANA?? UDAH?!”

Dua lelaki di kamar itu menatapku dengan seksama, dari ujung kaki sampai kepala. Lalu, aku masuk ke dalam dan menutup pintunya keras.

“UDAH ADA HASILNYA??!”

Kak Brian menghela napas. “Sabar.”

Aku gantian melirik Pak Adam yang duduk di sebuah kursi kayu, sembari memangku laptop dengan layar menyala. Kamar sempit ini jadi terlihat seperti kamar anak IT, ada tiga komputer berjajar di atas meja kayu panjang. Kabel di mana-mana, saling sambung-menyambung seperti gerbong kereta.

“Lulus?” tanya Pak Adam, pendek.

Aku menganggukan kepala. “Lulus dong!”

“Wasesa udah balik, ya?” Kak Brian melirikku dengan ekor matanya dan menambahkan, “Sidang skripsinya udah beres?”

“UDAH,” jawabku bersemangat, karena aku lebih fokus ke hal yang lain. Aku menatap ketiga layar komputer tersebut tapi tidak memahami apa-apa. Lalu, “Jadi gimana ini? Kalian enggak dapat informasi baru, hah? Dari kemarin, lho! Kalian enggak mandi dan enggak tidur, terus zonk gitu?”

“Berisik banget,” respon Kak Brian, sembari mencuri celah dengan menjitak puncak kepalaku lumayan keras. “Kita juga manusia, Gizka. Intelijen bukan Dewa!”

Aku cemberut, kemudian dering telepon dari saku celana Pak Adam menarik perhatianku. Dengan ekor mata, aku melirik ke arahnya dan mendengarkan apa yang dia katakan.

Menguping adalah jalan ninjaku.

Kerutan di keningnya semakin nyata saja. Tapi itu tidak lama, karena dia memutus sambungan telepon setelah dua menit berbicara dengan seseorang di seberang sana—entah siapa.

“Kayaknya beneran bukan Rakabuming,” ucap Pak Adam, kemudian dia menatap Kak Brian dan, “Kamu bilang kalau bukti-bukti yang saya kumpulkan ada di rumah sakit jiwa?”

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang