tw // bullying. 🚫
✨✨
11 November 2018
Ketika orang lain tidak terbiasa dengan penampilan baru kita, mereka membuat opini-opini yang terkadang sulit dimengerti.
Kamu enggak cocok pakai itu, Gizka.
Eh, tumben banget pakai lipstik merah. Tapi, itu kemerahan, deh!
Mau ke mana, Giz? Habis kuliah, mampir ke pangkalan dulu, ya?
Cantik sih, tapi gue lebih suka lo yang dulu. Softlens-nya lepas dulu gih! Ganti juga warna lipstiknya!
Opini-opini yang kudapat hari ini setelah aku mengubah penampilanku. Kami memang sudah lumayan lama tidak bertemu karena liburan semester dan banyak dari teman satu angkatanku yang memilih untuk kembali ke rumah. Kebanyakan dari mereka berasal dari luar Jawa. Sementara itu, aku tidak pulang ke Jakarta dan memilih menghabiskan waktu di Magelang, di rumah Mbah sembari membantu berkebun. Atau lebih tepatnya, aku merecoki pakde dan budeku yang tengah menanam bibit terong.
Ugh, aku enggak suka terong!
Banyak yang memberiku tatapan aneh hanya karena aku memakai lipstik warna merah. Mungkin karena belum terbiasa, mereka melempariku dengan sorot penghakiman itu. Diriku yang dulunya sering memakai kacamata di kelas karena mataku minus, kini memilih untuk memakai softlens. Warnanya abu-abu, dan tidak terlalu mencolok juga. Aku memilihnya dengan hati-hati. Namun, tetap, ada saja yang merobek kepercayaan diriku dengan candaan tak tahu diri itu. Dikira hatiku ini terbuat dari baja apa, ya? Kalau aku kesal, aku akan kembali dilempari komentar: lo baperan banget.
Jam dinding di kamar kosku menunjukan pukul setengah sepuluh pagi. Belum terlalu siang, tapi rasanya sangat melelehkan harus mendengarkan semua opini yang tidak terlalu penting. Bukan urusan mereka kalau aku nyaman memakai lipstik merah atau softlens. Toh, aku membeli dengan uangku sendiri. Memangnya mereka yang keluar uang?
Bisanya hanya kasih komentar, tapi banyak waktu luang dihabiskan dengan mengusik hidup orang. Kenapa ada orang yang mau sibuk mengurusi hidup orang lain, ya? Apakah hidup mereka sudah sangat sempurna, atau... mereka justru tipe orang yang tak suka melihat orang lain lebih bahagia?
Setelah melempar tas ke atas meja belajar, aku pun melempar diriku sendiri ke atas ranjang. Masih berantakan, tadi tak sempat aku rapikan. Lalu, aku meraih boneka beruang yang warnanya sudah kusam untuk kupeluk di depan dada—hadiah ulang tahun dari ayah saat umur delapan tahun, dan menatap langit-langit kamar. Ada bagian yang tergerus air hujan. Ya, namanya kos murah. Apa yang mau diharapkan? Jelas seratus depalan puluh derajat jomplang kalau dibandingkan dengan kos mahal Megantara.
Di sana ada AC, kulkas kecil, kamar mandi dalam dengan toilet duduk, shower, televisi flat yang menempel di dinding, dan dispenser—ini yang paling membuatku iri karena aku sangat butuh dispenser. Aku mudah haus saat terbangun tengah malam.
Ah, sial! Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk menghapus semua bayangan penuh kedengkian itu. Tak ada gunanya juga membandingkan hidup kita dengan orang lain. Di mana-mana, rumput tetangga akan selalu lebih hijau.
Capek, ya, Giz?
Banyak kata-kata berisi penghiburan yang kuciptakan sendiri. Sudah biasa, batinku. Selama kuliah di Jogja dan jauh dari rumah, kamar kos sempit ini yang menjadi saksi bisu malam-malam penuh air mata. Atau, malam-malam yang tak mau memejam sampai matahari kembali bangun dari tidurnya. Matahari saja bisa tidur, aduh... aku kalah. Karena itu, aku terkadang memasang sorot lelah dan membuat Mas Bumi cemas.
![](https://img.wattpad.com/cover/203178876-288-k855763.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI & EVAKUASI
Fanfic[Original Fiksi/🔞] - "Bukannya kamu yang bunuh dia? Kamu bilang, kamu mau membunuh orang itu untuk aku." (Brave Series #3) Jogja identik dengan hal-hal klasik, indah, dan romantis bagi banyak orang. Tapi, bagi Gizka, Jogja juga adalah rumah. Dia in...