39. Hate You

447 67 50
                                    

“girl, i need you.
girl, i love you.
girl, i heart you...”

✨✨

Terbangun padahal baru beberapa saat terpejam. Keterlaluan, mimpi indahku pun mesti kurelakan. Dengan mata yang masih memburam, suara Bulik Maharani membuatku terbangun dari posisi berbaring. Aku menegakan punggung, kemudian menyingkap selimut dan mengusap mata.

“Kenapa, Bulik?” tanyaku dengan suara serak khas bangun tidur. Ah, sial! Kepalaku sedikit berputar, jadi aku memijat pelipisku lembut sembari menunggu jawaban Bulik Maharani. Mataku yang sudah cukup jelas segera melirik ke arah jam weker yang ada di atas nakas. Baru jam sebelas malam, berarti aku baru memejam sekitar setengah jam.

Bulik Maharani mencodongkan badannya ke arahku dan berbisik, “Ada Rakabuming di luar. Dia basah, kehujanan pas perjalanan ke sini.”

Jawaban yang membuat dadaku dipaksa menabuh drum lebih keras dari sebelumnya. Dag-dig-dug, suara dari dalam dadaku yang membuat mataku membulat sempurna. Dengan ragu, aku bertanya untuk memastikan, “Mas mantan?”

Bulik Maharani meringis miris. “Enggak tega, Gizka. Dia beneran basah-kuyup enggak bawa mantol.” (mantol = jas hujan).

Aku masih termenung, belum membuat gerakan apa-apa. Kepalaku melayang merangkai banyak skenario yang mungkin terjadi. Namun, setelah mataku melihat perutku yang mulai membuncit, aku tahu bahwa aku harus menemuinya. Aku harus menyambut kedatangan lelaki itu, karena dia adalah ayah dari bayi ini. Ingat, tadi aku dan ibuk memberinya nama: Anak dari Bumi.

“Mending cepet kamu temuin, sebelum dia ditendang sama Jasonna,” tambah Bulik Maharani dengan sorot wajah cemas. “Jasonna lagi jaga pintu itu! Enggak kasih izin si Rakabuming buat masuk. Katanya Jason, biarin si cowok itu kena azab kedinginan di luar.”

Aku berhenti memijat pelipis, kemudian geleng-geleng kepala membayangkan tingkah Jasonna. Dengan helaan napas panjang, aku bangun dari ranjang dan melangkah keluar.

Benar saja, aku melihat punggung lebar Jasonna menghadang pintu. Dia bergaya seperti anggota polisi yang tengah menjaga pintu gerbang gedung DPR. Ah, lagi dan lagi, aku mengingat kejadian itu. Meksipun aku sedikit manja, tapi aku pernah ikut demo ke ibukota. Tidak perlu diceritakan lebih jauh, ya? Intinya itu pengalaman yang tidak akan pernah kulupakan, ketika kami dilempari gas air mata padahal sedang menuntut hak asasi manusia.

“Ini.” Bulik Maharani menyodorkan handuk berukuran besar yang baru dia ambil dari salah satu lemari kayu di kamarnya. Dia menambahkan, “Aku yang ngurus Jasonna, kamu ngurus Rakabuming. Oke, Nduk?”

Aku menarik senyum tipis, lalu melakukan hi-five tinggi dengan Bulik Maharani persis seperti partner in crime di dalam film.

Jasonna sempat memberontak ketika Bulik Maharani menggamit lengannya, kemudian membawanya ke dalam rumah. Entah apa yang akan dilakukan Bulik Maha untuk mengganggu fokus adik lelakiku itu, tapi kurasa dia akan bekerja sama dengan putranya—Hujan—supaya Jasonna tidak bisa melarikan diri darinya.

Sementara itu, aku menemui Mas Bumi. Kemeja putih yang dipakainya basah, jelas membuat badan kekarnya itu menjiplak di sana. Rambutnya juga basah, terlihat lepek. Dilihat dari ujung kepala sampai kaki, sudah pasti nyata kalau dia kehujanan selama di jalan.

Aku mengulurkan handuk padanya, yang segera diterima olehnya untuk mengusap wajah dan rambutnya. Lalu, aku melangkah duluan keluar pagar, “Kita ngobrol di tempat lain aja. Kalau di sini, singaku bisa nerkam kamu kapan aja.”

“Singa?” Keningnya berkerut samar.

“Jasonna.”

Mas Bumi terdiam sejenak, lalu dia menarik senyum tipis dan mengikuti langkah-langkah kecilku.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang