[Original Fiksi/🔞] - "Bukannya kamu yang bunuh dia? Kamu bilang, kamu mau membunuh orang itu untuk aku." (Brave Series #3)
Jogja identik dengan hal-hal klasik, indah, dan romantis bagi banyak orang. Tapi, bagi Gizka, Jogja juga adalah rumah. Dia in...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
✨✨
Saat mendebarkan mendekati semester akhir adalah bimbingan tatap muka secara langsung dengan dosen pembimbing. Seperti yang pernah kukatakan, aku mendapatkan pembimbing seorang dosen termuda di fakultasku--ralat, muda dan tampan. Yaaa, walaupun sedikit kuno dan dingin, tapi wajahnya itu bisa menggaet perempuan. Sayang sekali, aku tidak pernah mendengar rumor apa pun. Apa dia tidak doyan perempuan, ya?
Dengan wajah itu, dia tinggal pilih mau yang mana. Apalagi, kudengar ada banyak mahasiswi yang mengantre untuknya. Banyak yang mencoba mendekat, tapi dia enggan membuka pagarnya. Padahal kalau menurutku, dia seharusnya sudah gendong anak. Meskipun dosen termuda, usianya itu sudah pantas untuk mengucap kata 'SAH' di pelaminan.
Hari ini sebenarnya aku tidak punya jadwal bimbingan dengannya. Bahkan, revisiku belum selesai jadi apa yang mau kutunjukan padanya? Nasib sial saja, dia memberiku tanggung-jawab untuk mengumpulkan tugas teman-teman satu angkatanku.
Itu cukup melelahkan.
"Kamu enggak apa-apa, Giz?" tanyanya.
Aku mengangkat sebelah alis, kemudian menggeleng. "Saya baik, Pak. Kenapa?"
Tiba-tiba dia meraih jaketnya yang disampirkan di sandaran kursi. Lalu, dia memberikannya kepadaku. "Pakai jaket ini. Wajah kamu pucat. Kurang tidur, ya?"
Ya, aku memang kurang tidur. Salahkan Mas Bumi, gara-gara aku sering menginap di apartemennya sekarang. Dia jadi super manja, dengan alasan penyakit mentalnya lebih suka menyerang di malam hari. Kalau tidak ditemani tidur, dia bilang dia mungkin akan dikuasai monster ganas yang mengajaknya bunuh diri.
Entahlah, kekasihku itu jadi semakin imajinatif. Dia benar-benar bisa menulis satu nover horor kalau mau.
Aku mengelus pipiku sendiri, lalu melirik ke arah cermin berbentuk oval yang menempel di dinding. Ternyata benar, wajahku pucat.
Sepertinya bukan hanya karena pola tidurku yang berantakan. Selain banyak tugas dan mengurus Mas Bumi, aku juga punya agenda di Komunitas Little Star. Rencananya kami akan berdonasi susu ke sebuah panti asuhan khusus untuk anak-anak difabel di daerah Bantul. Bukan hanya itu, kami juga melakukan sosialisasi cara mencuci tangan yang baik ke beberapa sekolah dasar.
Aku ditunjuk sebagai bendahara, jadi aku tidak bisa absen. Aku benar-benar tidak punya waktu untuk tidur nyenyak, karena kepalaku bising sekali. Banyak hal harus kuurus, dan 24 jam rupanya tidak begitu cukup. Atau, aku saja yang bodoh dalam mengatur waktu.
Waktu melaju begitu cepat, aku mulai takut.
Omong-omong, aku akan menginap di apartemen Mas Bumi lagi malam ini. Serius, karena efek penyakit mentalnya, dia hanya ingin tidur di sebelahku. Aku sampai lupa kapan aku menginjak lantai kontrakanku. Sepertinya sudah hampir seminggu tidak menengok ke sana. Bagaimana kabar yang lainnya? Apakah mereka bisa makan enak atau berbagi mi instan? Aku jadi rindu sekumpulan perempuan cakep itu. Selama seminggu ini, karena aku mulai terbiasa keluar-masuk apartemen Mas Bumi, sampai-sampai membuat tetangga apartemen Mas Bumi mengira kalau kami adalah pengantin baru.