34. Acceptance Speech

363 60 38
                                    

ada yang kangen aku? pasti enggak ada sih, kalian mah kangennya sama gizka. angkat kakinya kalau beneran kangen gizka inaranti!

✨✨

Suasana di sekitar kami membuatku semakin gugup. Juga tentang sorot mata tajam milik Megantara yang tertuju lurus ke arahku. Kami duduk berhadapan di lantai dua butik milik Violet. Gadis cantik itu memberi kami waktu untuk bicara, sedangkan dia hanya memantau dari jauh.

Tenggorokanku seperti lumpuh, karena aku kesulitan merangkai kata untuk menjelaskan kepada Megantara. Ya, meskipun dia tidak seharusnya ikut campur. Toh, janin di dalam perutku kan bukan hasil spermanya. Bukan dia yang menanam benih.

"Selama ini, gue kira lo main aman," ucap Megantara, setelah beberapa saat diam. Dia tampak ingin menenangkan dirinya sendiri setelah tadi sempat dibutakan amarah. Saat Violet memberitahunya perihal kehamilanku, Megantara hampir menghancurkan toilet. Dia membuang testpack di tanganku, kemudian mendorongku ke dinding. Kalau tak ada Violet, aku mungkin sudah dilarikan ke rumah sakit sekarang. "Lo suka baca tentang sex education, Gizka. Tapi, lo masih bisa kecolongan?"

Aku mengingat-ingat kapan aku dan Mas Bumi melakukan hubungan seksual tanpa pengaman. Selama ini, kami selalu memakai kondom. Bahkan, Mas Bumi rajin membelinya tiap bulan. Kami bukan pasangan yang suka main-main. Karena itu, kepalaku berputar untuk menemukan memori itu. Siapa yang tahu, kami sudah dikuasi nafsu dan lupa memakai benda itu. Padahal memakai kondom tidak butuh waktu lama. Ah, bodoh!

"Lo cuma main sama pacar lo, kan?" tanya Megantara, dengan nada tanya yang mengandung curiga. Aku menatapnya dengan kening berkerut, lalu dia mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Yaaa, mungkin aja lo main sama cowok lain tapi enggak sadar. Coba lo ingat-ingat lagi!"

"Lo kira gue sama kayak lo, hah?!" Mataku membulat sempurna, dengan mulut yang siap mengabsen nama-nama hewan. Aku tidak terima disamakan dengan dirinya yang hobi “celap-celup” dengan santainya. Dia hanya beruntung karena tidak ada satu pun di antara perempuan itu yang hamil—walaupun aku tidak tahu dia sudah tidur dengan berapa banyak perempuan. Lalu, aku meloloskan helaan napas berat dan berkata lirih, "Semuanya udah jelas, janin ini punya Mas Bumi."

"Jangan kasih tahu dia."

Ucapan Megantara barusan terdengar seperti perintah. Lagi dan lagi, sudah bisa kutebak kalau dia akan memanfaatkan insiden ini untuk kepentingannya sendiri.

"Gue bakal kasih tahu dia nanti, soalnya ini anaknya dia," balasku, mencoba untuk tenang. Mata kami masih membuat kontak. Aku menambahkan, "Lo jangan ikut campur, deh!"

Megantara mengalami perubahan ekspresi. Yang semula sudah lebih tenang dengan sorot mata meneduhkan, tampaknya amarahnya kembali naik ke permukaaan. Dia menggertakan giginya, lalu, "Gue bilang, jangan kasih tahu dia! Lo mau dia aman, kan? Lo mau pacar lo itu enggak masuk penjara, kan? Dengerin gue! Gue punya power yang kuat, Gizka. Gue bisa melakukan apa aja yang gue mau. I want it, I get it. Enggak ada penolakan."

"Tapi, gue menolak." Aku meremas gaun seputih salju yang membalut tubuhku. Kini terasa nyaman karena Violet sudah membesarkan ukurannya. Pinggang dan dadaku juga tidak sesak dan sempit. Lalu, aku berkata pelan, "Ini anak gue, Gan. Gue yang lebih tahu mana yang terbaik buat dia."

Megantara menggebrak meja yang menghasilkan suara cukup keras. Tak cukup sampai di situ, dia kembali menyorotiku dengan tatapan setajam pisau belati itu. "Yang terbaik kata lo? Jelas, gue adalah pilihan terbaik. Biar gue yang tanggung-jawab. Lo nikah sama gue secepatnya!"

Aku terdiam untuk sejenak karena aku masih harus mencerna ucapan bodoh yang terlontar dari bibir Megantara. Betapa mudahnya dia membuat sebuah perintah dan tidak menerima penolakan. Padahal janin ini hidup di dalam tubuhku, sehingga aku yang lebih berhak untuk mengatur apa pun itu yang berkaitan dengannya.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang