27. Home Sweet Home

419 60 13
                                    

“dan, aku pulang.”

✨✨

Katakanlah kalau aku bodoh, tapi aku sungguh mengikuti saran dari Pak Wasesa yang mengatakan dress hijauku kurang cocok untuk menyambut kepulangan Mas Bumi.

Setelah menghabiskan setengah botol wine dan memasukan lelaki tua itu ke dalam sarang yang kubuat khusus untuknya, aku akhirnya pamit pulang. Dia tak bisa mengantarku karena matanya sayu. Kurasa, lelaki itu tak kuat mabuk. Astaga! Beraninya bertingkah seperti bajingan tapi meminum wine saja sudah membuatnya tumbang.

Puas dengan apa yang terhidang di cermin, aku pun segera berangkat ke apartemen Mas Bumi. Kabar dari Pak Deril, dia sudah mengantar kekasihku dengan aman dan selamat. Terima kasih Tuhan, semuanya selesai. Kurasa, setelah ini, aku tidak akan punya perbincangan apa pun lagi dengan Tuan berjas hitam tersebut. Oh, kecuali satu hal! Aku benar-benar akan mentraktirnya makanan enak. Lain kali, tak ada salahnya membawa lelaki kaya itu untuk mencicipi makanan pinggir jalan. Dari tampang, Pak Deril sepertinya bukan tipe lelaki yang akan merepotkan.

"Mau ke mana, Neng?" Suara nyaring dari arah dapur. Aku menoleh ke sana dan menemukan Olivia sedang menikmati semangkuk mi kuah yang asapnya masih mengepul. Dia menambahkan, "Mau ke manaaa, sih? Perasaan baru sampai rumah. Rajin banget cari jurnal, ya!"

Aku berhenti melangkah, lalu kami membuat kontak mata. Olivia kembali merangkai kata, “Tapi... dandanan kamu... Jelas banget sih, enggak mungkin ke Perpustakaan Kota. Kamu mau ke mana? Princess Disney baru aja keluar dari buku dongeng, ya? Sumpah, kamu cakep banget, Gizkaaa!!"

Aku meringis geli. "Ini lebih penting dari jurnal, Liv!" balasku, kemudian membetulkan letak topi baret merah di atas kepala. Aku langsung menegakan badan dan berputar satu kali, lalu bertanya dengan ragu, "Menurut kamu, gimana sama penampilanku? Cantik? Beneran cantik, kan? Ini bukan bass-basi karena kita teman, kan?"

Melempar dress hijau itu ke dalam ember berisi pakaian kotor, kemudian berkelana di dalam lemari untuk menemukan pakaian yang tepat. Setelah membutuhkan waktu selama dua puluh menit untuk berpikir, aku memutuskan untuk memakai dress merah—yang menurut Pak Wasesa sangat cocok denganku—panjang yang sebenarnya lebih tepat dipakai ke sebuah pesta dansa anak-anak konglomerat. Olivia benar, salah satu putri Disney baru saja melarikan diri dari buku dongeng. Dress merah ini baru kupakai pertama kali, karena aku dulu membelinya tanpa pemikiran yang panjang.

"Wah, cantik!" dan segera memasukannya ke dalam keranjang, kemudian membayarnya keesokan harinya via m-banking.

Olivia mengamati tubuhku dari atas kepala sampai kaki, lalu dia manggut-manggut dengan seulas senyum tipis. "Kamu... mau ke mana, deh? Jangan-jangan... kencan sama Megan, ya? Dari semua skenario yang ada di pikiranku, cuma dia yang paling masuk akal bakal ngajak kamu dinner di restoran mewah. Am I right?"

"You're wrong this time," balasku, cepat.

Pertanyaan itu seharusnya bisa membuatku mendengus sebal, tapi sorot netra Olivia justru membuatku berpikir keras. Kenapa dia menunjukan ekspresi seperti itu padaku? Dari sorot netranya, aku melihat adanya kekecewaan seolah hatinya baru dipatahkan.

"Kamu suka sama Megan, ya?" Hari ini, mulutku seperti punya kontrolnya sendiri. Tadi iseng bertanya kepada Megantara, sekarang aku justru melempar panah ke arah Olivia. Gadis yang tengah mengunyah mi itu sempat membeku sebentar, lalu aku buru-buru melanjutkan, "Maksudku, kalian kan mulai dekat tahun ini. Udah sampai tahap mana? Kelihatan... cocok."

Olivia mengunyah mi dalam mulut, lalu dia terdiam sejenak. Tinggal bersama Olivia di kontrakan sejak setahun lalu membuatku lebih mengerti gadis itu. Dari sorot netra dan ekspresi wajahnya, Olivia sangat mudah dibaca. Mirip sekali dengan Megantara, walaupun bocah rambut jagung itu mulai ahli menyerangku diam-diam dan membuatku tersesat sendirian untuk menebak-nebak apa maksud sorot netranya.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang