[Original Fiksi/🔞] - "Bukannya kamu yang bunuh dia? Kamu bilang, kamu mau membunuh orang itu untuk aku." (Brave Series #3)
Jogja identik dengan hal-hal klasik, indah, dan romantis bagi banyak orang. Tapi, bagi Gizka, Jogja juga adalah rumah. Dia in...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
(Gizka Inaranti from my point of view)
✨✨
Masalah kemarin tentu tidak mudah diselesaikan. Namun, hidup masih harus terus berjalan. Aku tidak bisa menghentikan waktu begitu saja, kemudian melupakan semuanya.
Dengan energi yang terkuras habis, aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku. Masih pukul delapan lagi dan keadaan kampus masih sepi. Ya, mungkin akan terus sepi karena semuanya sudah mulai kuliah online.
Nanti aku juga ada jadwal kuliah sekitar jam satu siang, via aplikasi zoom. Namun, pagi ini, aku terpaksa datang ke kampus untuk bertemu dengan Pak Wasesa.
Paman tua itu mengirimkan pesan jam empat subuh dan menyuruhku untuk menemuinya di kampus.
Tanpa bisa menolaknya, aku pun datang. Karena itu, aku sekarang berada di kantin jurusan. Hanya ada beberapa orang di sini. Mungkin lima, kalau mataku tak salah lihat. Siapa tahu aku berhalusinasi karena tak punya waktu cukup untuk tidur.
Semalam aku tidur di kos mahal Megantara. Lelaki itu menyerahkan kasurnya kepadaku, sedangkan dia memilih mengalah dengan tidur di sofa ruang tamu. Dia membiarkan televisinya terus menyala mengisi kesunyian di antara kami.
Dadaku berdebar hebat tiap kali teringat dengan kejadian kemarin. Pak Deril benar-benar bekerja keras untuk membantuku. Dia mengumpulkan banyak barang bukti yang bisa membebaskan Mas Bumi dari tuduhan. Dari pengecekan CCTV apartemen pun, terlihat jelas bahwa postur tubuh si pelaku tidak mirip dengan Mas Bumi. Tubuhnya sedikit lebih pendek dan berisi, serta jaket kulitnya juga sudah kusam.
Ketika di zoom, matanya memang tidak terlihat seperti Mas Bumi. Sayangnya, dia memakai masker hitam yang membuat setengah wajahnya tak bisa terdeteksi. Namun, dari penjelasan Pak Deril tadi, polisi punya 1001 cara canggih untuk menemukan pelaku aslinya. Dia bilang kalau teknologi kepolisian itu sudah se-canggih kantung ajaibnya Doraemon.
Entahlah, dia mungkin hanya ingin menenangkanku yang tiap jam selalu menghubunginya untuk mempertanyakan seputar perkembangan kasus Mas Bumi.
Ya, Megantara sudah mendekatkan kami jadi kami punya nomor telepon masing-masing. Tiap kali aku diserang rasa cemas, aku akan menelepon Pak Deril. Dia masih dalam tahap sabar kalau boleh kuberi pujian. Seandainya orang lain yang berhadapan denganku, mereka pasti sudah kesal dan memblokir nomorku tanpa pikir dua kali.
Dari hasil penglihatanku—aku sempat diberi kesempatan untuk melihat rekaman CCTV apartemen, aku dapat langsung memastikan kalau jaket yang dipakai oleh pelaku tersebut dibeli dari tukang loak. Terlihat bukan barang bagus dan mahal. Jangan salah ya, aku pandai jika dihadapkan dengan persoalan fashion. Aku tahu mana barang asli dan barang palsu, serta dapat membedakan mana yang harganya mahal dan murah hanya dari sekali lihat.