12. Fiersa Besari

1K 99 28
                                    


✨✨


Aku membeku ketika Megantara menempelkan earphone-nya ke telinga kiriku, sedangkan yang sebelah lagi masih terpasang di telinganya.

Kejadian yang menyakiti pipiku rupanya juga menjalar ke seluruh tubuh. Aku demam dan sakit kepala. Ini sudah memasuki hari ketiga, dan aku sampai harus izin bimbingan. Untungnya ada Megantara yang dengan baik hatinya mau mengerjakan tugasku. Bahkan, dia juga sudah mengumpulkannya ke Pak Wasesa--dosen pembimbingku yang katanya sedingin es. Kalau menurutku biasa saja, walaupun dia beberapa kali memberikan kritikan yang membuat mood-ku hancur. Namun, aku masih bisa menghadapi dia. Ya, tentu saja... kalau tidak bisa menghadapi dia, bagaimana aku bisa wisuda?

"Lo minum obatnya, kan, Giz?" tanya Megantara curiga.

Selama tiga hari sakit, Megantara ikut ambil andil dalam hal menjagaku. Dia sampai menginap di kontrakan. Untungnya ada anak-anak lain yang mengurusnya jadi dia tidak mirip gelandangan. Padahal lebih nyenyak tidur di kos mahalnya daripada di sini. Teman sekamarku, Alinea, sampai rela tidur satu ranjang dengan Olivia dan menyerahkan ranjangnya untuk ditiduri oleh Megantara.

"Ini lagunya siapa, sih?" tanyaku, tidak menjawab pertanyaan curiga darinya. Namun, aku selalu minum obat secara teratur. Aku capek juga harus menahan kepala yang sakitnya minta ampun. Kalau boleh, rasanya mau aku lepaskan sebentar. Lalu, aku menambahkan, "Fiersa Besari, ya? Ini lagu baru, hm?"

"OST Film Imperfect," jawab Megantara singkat. "Padahal kan lo udah nonton sama Olivia."

Aku tersenyum kecut. "Cuma nonton setengah, Gan. Lo kan tahu apa yang terjadi. Mas Bumi melacak gue dan nyamperin gue ke bioskop. Kalau lo jadi gue, lo pasti malu seumur hidup."

Megantara menghela napas lelah. Dia sedang duduk di sebelahku, dengan netranya menatap sebuah novel thriller yang dia ambil dari rak bukuku. Kebetulan, aku mengkoleksi beberapa novel berbagai genre. Kalau bagus dan menarik, ya aku beli. Bukan semata-semata aku membeli sesuai trend. Aku pasti baca dulu sinopsisnya. Ada beberapa buku terkenal yang tidak masuk seleraku.

"Gan, lo geser dong! Badan lo kayak badak," kataku, karena merasa tergusur. Megantara sengaja merapatkan jaraknya denganku. Kan, sialan. Aku hampir jatuh. "Geser dikiiit aja, ih!"

Megantara menggeser tubuhnya sedikit, kemudian memegang lenganku untuk ditarik supaya aku tidak jatuh. Setelah itu, dia kembali fokus membaca novel.

"Lo paham makna lagu ini atau enggak?" tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari novel. Dia menyenggolku dengan sikunya dan melanjutkan, "Dengerin pakai hati. Resapi dan renungkan."

"Wow, lo terkadang mirip sama Mas Bumi kalau lagi tegas gini," sahutku, bercanda.

Megantara memutar bola matanya malas. "Lo kapan pisah sama dia, sih? Belum muak lo udah ditampar sampai demam? Apa perlu lo diseret-seret di jalanan, hah? Bodoh banget jadi cewek. Kartini menangis melihat lo, Giz."

"Udah, ah! Lo diem aja."

Megantara menyenggol lenganku lumayan keras, sampai aku meringis dan balik memukul pahanya.

"Katanya suruh merenungi lagu ini, ya lo diem dong! Jangan ganggu dulu!"

Megantara mencibir, kemudian, "Ya, ya, ya. Gue diem. Silakan direnungi biar lo cepet putus."

"Kalau gue putus, lo mau apa?"

"Jadiin lo pacar gue lah!" sahutnya, tanpa beban.

Aku tahu dia bercanda. Dia kan memang sifatnya suka memancing amarah.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang