**
“Kenapa dia pengecut banget?!” Suara keras mengisi lorong penjara itu, bersamaan dengan kedua lenganku yang dicekal kuat oleh Kak Brian. Ada beberapa anak buahnya yang menonton dengan sorot tak paham, mungkin merasa aneh karena menemukan seorang perempuan dengan kebaya merah marun berteriak-teriak seperti orang sakit jiwa. Dengan nyalang, aku mencoba menerobos masuk ke dalam ruangan interogasi di depanku. “Kak, please, dia harus kasih penjelasan ke aku! Aku bakal bunuh dia kalau dia enggak ngomong apa-apa!”
Aku rasa aku akan meledak.
Kak Brian menangkup kedua pipiku kuat-kuat, lantas aku menatap netranya yang begitu dalam dan mengintimidasi. Untuk pertama kalinya dalam hidup, dia menakutkan. Lalu, “Dia enggak perlu kasih kamu penjelasan, Gizka.”
“Dia perlu.”
“Untuk apa?”
Aku keras kepala. “Dia bohong sama aku. Katanya, dia enggak sepenuhnya jahat. Dia bertingkah kayak orang enggak berdosa padahal dia tahu semuanya. Kenapa dia kayak gitu? Kenapa dia bohong sama aku? He said he love me, Kak!”
“Itu enggak penting buat kamu, kan?" tembak Kak Brian dengan pertanyaan yang membuat bibirku seketika terkatup. Lalu, “Kamu juga selama ini enggak pernah peduli sama perasaan dia.”
Ucapan Kak Brian membuatku terduduk begitu saja di atas lantai penjara yang dingin dan berdebu. Baju kebaya merah marun berpayet yang kupakai sudah berantakan, begitu juga rok batik warna coklat tanah dengan model sepan yang membungkus kedua kaki kecilku. Riasanku pun luntur.
Kalian mungkin ingat bahwa Rakabuming memberiku tugas untuk menemukan bukti terakhir yang dia sembunyikan. Bukti paling besar dan hebat yang akan membongkar semua topeng para pendosa di kisah ini. Tadinya aku benar-benar ingin ambil andil sepenuhnya, tapi Kak Brian justru meminta Hujan untuk mengantarkan boneka Barbie tersebut secara langsung ke kantor polisi. Hujan memberikannya kepada Pak Adam dengan diantar oleh Aditya. Jadi, sebelum siang ini, aku tidak tahu apa isi flashdisk yang dimasukan ke dalam boneka Barbie tersebut.
Jadwalku hari ini adalah menghadiri acara wisuda dengan ditemani oleh ibuk, Jasonna, Bulik Maharani, Naladipa, Galuh, dan Jiwaraga. Acara wisuda berlangsung lancar sampai selesai, bahkan kami sempat berfoto-foto di beberapa tempat bersejarah bagiku di kampus; gedung fakultas FISIP, gedung jurusan Hubungan Internasional, gedung rektorat, dan tentunya bundaran yang menjadi salah satu lokasi hits di kampusku. Namun, setelah kami selesai makan siang, Kak Audissa mengabarkan hasil dari isi flashdisk tersebut. Dia sebenarnya hanya menelepon Jiwaraga, tapi aku bisa mendengarnya dan firasat buruk langsung menggerogoti seluruh jantungku.
Nyeri sekali di dalam sana.
Tanpa basa-basi dan dengan modal keras kepala, aku pun mengekori Jiwaraga ke dalam penjara. Bocah itu masih berada di ruangan lain sekarang, katanya sedang menganalisa bersama Pak Adam. Sementara itu, aku berada di sini. Terduduk di depan ruang interogasi karena menunggu seorang bajingan keluar dari sana.
“Kamu udah lebih tenang?” Kak Brian berjongkok di hadapanku, kemudian dia meletakan telapak tangannya di atas kepalaku dan mengusapnya lembut. “Ada yang mau ketemu kamu. Biar dia yang kasih penjelasan. Aku juga pengin bantu kamu, Gizka. Tapi... aku enggak bisa maksa Wasesa untuk ketemu kamu sedangkan dia enggak mau. Kita harus menghormati keinginan dia di sini. Ada peraturan yang enggak bisa kamu langgar di sini.”
Kak Brian sudah banyak melanggar peraturan untukku di luar sana, jadi aku mencoba mengerti dan menuruti semua ucapannya kali ini. Dengan tubuh lemah, dia membawaku ke sebuah ruang temu. Ruangan yang sama saat aku terakhir kali berhadapan dengan Rakabuming. Apakah dia adalah orang yang ingin bertemu denganku? Sekali lagi?

KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI & EVAKUASI
Fiksi Penggemar[Original Fiksi/🔞] - "Bukannya kamu yang bunuh dia? Kamu bilang, kamu mau membunuh orang itu untuk aku." (Brave Series #3) Jogja identik dengan hal-hal klasik, indah, dan romantis bagi banyak orang. Tapi, bagi Gizka, Jogja juga adalah rumah. Dia in...