03. Flashback: Back To December

1.3K 153 14
                                    


*yuk dengarkan lagu di atas.

✨✨

Awal Desember 2018

KALAU bicara tentang Yogyakarta, tidak lengkap rasanya kalau tidak membicarakan Festival Sekaten. Menurut Wikipedia, Festival Sekaten adalah rangkaian kegiatan tahunan sebagai peringatan ulang tahun Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Keraton Surakarta dan Yogyakarta.

Aku belum pernah pergi ke Sekaten yang ada di Keraton Surakarta, jadi aku tidak akan membicarakan apa pun tentang Surakarta. Yang akan aku bahas adalah Festival Sekaten di Yogyakarta yang sangat ramai. Dan, selalu ramai.

Aku bukan warga asli Yogyakarta, jadi aku melihat Sekaten sebagai sesuatu hal yang luar biasa. Tiap Sekaten dibuka, aku selalu meluangkan waktu untuk datang. Terkadang bersama teman satu himpunan, atau berdua saja bersama pacar.

Pacarku juga bukan warga lokal Yogyakarta. Aku lahir dan dibesarkan di Jakarta, sedangkan dia lahir dan dibesarkan di Depok. Namun, kalau berhubungan dengan Sekaten, dia punya opini berbeda denganku. Dia merasa bahwa festival itu bukan sesuatu yang luar biasa. Dia tidak terlalu tertarik. Yang menarik perhatiannya hanya naik wahana kora-kora yang melegenda--yang sampai sekarang masih membuat perutku mules tiap selesai menaikinya. Mungkin juga, karena dia adalah laki-laki yang lebih suka menghabiskan waktu di dalam ruangan.

Dalam hal ini, kami berdua sama. Aku juga suka menghabiskan waktu di dalam ruangan. Sebenarnya dulu tidak begitu. Dulu, saat kecil, aku adalah anak yang suka berpetualang. Suka ikut Mbah Kakung ke sawah dan panas-panasan sampai kulitku gosong. Meskipun aku lahir dan dibesarkan di Jakarta, tapi aku punya darah Yogyakarta dari orang tuanya Ibuk.

Sejak kecil, tiap libur Natal dan tahun baru, aku akan mudik ke Magelang dan bermain di sawah. Atau, aku akan menangkap bekicot yang kemudian digoreng oleh Ibuk dengan garam sebagai penambah cita rasa. Berkat mudik itu juga, aku sudah mengunjungi banyak tempat wisata di Yogyakarta jadi aku tidak terlalu ketinggalan zaman. Pengalaman paling parah adalah Candi Borobudur, di mana aku hanya bisa melihat lautan manusia saat tahun baru delapan tahun lalu.

Masa kecilku sudah mirip bocah petualang yang tidak peduli dengan skincare, karena aku membiarkan tubuhku menjadi tan tanpa kecemasan apa pun. Aku menerima kulitku apa adanya. Namun, sekarang, aku jadi lebih fokus ke kesehatan kulit. Aku mulai suka berburu skincare untuk wajah dan seluruh tubuh. Bukan, bukannya aku beranggapan kalau kulit gelap itu tidak menarik. Banyak perempuan menginspirasi yang berkulit gelap. Favoritku adalah Tara Basro.

Alasan masuk akal yang menjadikanku budak skincare adalah karena aku punya alergi kalau aku terlalu lama beraktivitas di luar ruangan. Kulitku akan mengalami iritasi yang menimbulkan kemerahan. Karena itu, aku harus rajin pakai lotion dari dokter kulit langgananku. Selain itu, aku juga selalu bawa topi dan jaket ke mana-mana, yang aku masukan ke dalam tas. Lebih baik mencegah daripada aku tidak bisa tidur karena menahan perih, kan? Tidur itu penting.

Awalnya alergi itu tidak terlalu mengganggu, tapi semakin bertambah usia jadi menimbulkan gatal dan perih seperti terbakar. Meskipun begitu, aku punya banyak agenda di luar ruangan yang tetap harus aku jalani. Mulai dari kuliah, rapat himpunan, acara komunitas yang aku ikuti, atau agenda mendadak lainnya yang mewajibkanku untuk bertegur sapa dengan terik mentari. Oh iya, aku juga suka jalan-jalan sendiri ke toko buku. Meskipun punya pacar, aku masih suka menyendiri. Kata orang-orang, aku tampak menyedihkan. Namun, aku menganggap itu sebagai hobi.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang