11. Have A Nice Dream ⚠

2.2K 105 16
                                    

*tolong dengarkan lagu di atas↑


✨✨

Pada akhirnya kami saling menghancurkan. Tetes-tetes air mata mulai berjatuhan melewati pipi bersamaan dengan rasa panas yang sepertinya akan meninggalkan memar esok hari.

Aku tak bisa berkata-kata ketika Mas Bumi melakukan itu. Dia marah besar, ketika tahu kalau aku memilih menemani Liv menonton film di bioskop dibandingkan menemani dia mengerjakan tugas kantornya di kafe yang jaraknya hanya setengah jam dari rumah kontrakanku.

Aku punya alasan.

Kalian pasti masih ingat, kalau Liv baru saja diputuskan secara sepihak. Dan juga, Liv merasakan sakitnya pengkhianatan ketika pacarnya yang fotografi itu selingkuh dengan seorang make up artis. Aku tidak bisa melihat orang lain terluka sendirian, karena itu aku memilih Olivia. Lagi pula, dia kan biasanya mengerjakan tugas kantornya bersama rekan-rekan kerjanya, dan aku hanya menjadi pajangan.

"Giz..."

Suara Mas Bumi gemetar. Dia mungkin sudah mengumpulkan kewarasannya dan menyadari kalau dia baru saja menamparku dengan tangannya yang lebar itu.

"Aku... capek kerja," ucapnya pelan.

Aku memilih untuk segera masuk ke dalam rumah kontrakan. Pasti adegan mengerikan tadi dilihat oleh teman-teman kontrakanku. Aah, aku jadi bingung sendiri. Aku merasakan Agatha sempat mengusap bahuku ketika aku melangkah cepat menuju kamar. Aku mengunci diri, kemudian menahan tangis supaya tidak semakin deras.

Banyak suara di luar sana. Terdengar teriakan Liv yang marah karena perilaku Mas Bumi. Aku juga mendengar Agatha dan Alinea yang ikut menangis, padahal aku yang ditampar. Suara terakhir adalah suara Tatjana yang menyuruh Mas Bumi pulang dan menenangkan diri. Aku tidak tahu, Tatjana ada di pihak siapa sekarang. Tapi, sepertinya dia memang tidak pernah ada di pihakku.

Rasa panas hasil tamparan Mas Bumi berubah menjadi rasa nyeri. Aku memegang pipi kananku, sembari melangkah mendekati cermin lemari. Benar saja, yang kulihat adalah bekas kebiruan. Pipi kananku juga terlihat sedikit bengkak.

Suara mobil terdengar, yang artinya Mas Bumi sudah benar-benar pergi. Lalu, yang terdengar selanjutnya adalah ketukan di pintu kamarku. Berkali-kali.

Agatha dan Alinea terisak di balik pintu, sedangkan Liv masih mengomel sambil berteriak. Tatjana? Aku tidak mendengar suaranya lagi.

Aku tidak menyangka bahwa hari di mana aku kecewa berat pada Mas Bumi akan terjadi. Aku sangat kecewa karena dia berani menyakiti fisikku sampai sesakit ini. Apa alasan yang mau dia gunakan? Dia mau menggunakan depresinya sebagai tameng untuk memperlakukanku secara semena-mena? Atau, aku memang yang salah karena aku tidak bisa memahami depresinya? Oh, mungkin seharusnya aku diam saja dijadikan pelampiasan. Biar aku mati di tangannya sekalian.

Zaman sekarang, banyak orang yang berlomba-lomba menjadi yang paling sakit daripada lainnya. Banyak juga yang melakukan self diagnose. Percaya padaku, penyakit mental tidak akan membuat kalian lebih keren dari sebelumnya.

"Gizka!"

Panggilan demi panggilan dari balik pintu membuat dadaku sesak. Aku tidak suka kalau ada orang lain yang ikut terluka. Agatha, Alinea, dan Liv semestinya tidak melihat kejadian tadi. Netra mereka terlalu suci.

Beberapa menit kemudian, aku mengusap air mata yang turun deras di pipi dengan punggung tangan. Lalu, aku menarik napas dan mengembuskannya dengan perlahan. Aku harus tenang sebelum membuka pintu itu.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang