“you say, i’m crazy...
...maybe i’m not good enough.”✨✨
Berhadapan dengan perempuan ini tidak pernah menyenangkan, juga tidak akan mudah. Dia rupanya masih suka memakai jaket jins ciri khasnya itu. Seperti biasa pula, dia datang bersama gerombolannya.
“Hai, Gizka,” sapanya, sok manis.
Aku baru saja selesai mewarnai rambut menjadi pink terang, kemudian berniat melangkah pergi dari salon. Akan tetapi, saat kami berdiri di depan salon sembari menunggu kedatangan Jasonna yang tengah mengambil flashdisk (yang masih membuatku bingung dan bertanya-tanya), Mbak Mora dan gengnya menghadang kami.
Salahku juga, seharusnya tidak mendatangi salon di dekat kampus. Ada banyak salon di Yogyakarta, kenapa juga aku harus ke sini? Ah, sial.
Dengan tampang sok cantik itu, dia menatap lurus ke arah area perutku. Dia tidak pandai berpura-pura. “Katanya, kamu lagi hamil, ya? Sama Rakabuming?”
Pertanyaan bodoh.
Mbak Mora dan gengnya berada di angkatan yang sama dengan Rakabuming, tetapi mereka tampaknya masih jauh dari gelar sarjana. Kudengar, mereka juga sudah dituntut oleh dosen pembimbing masing-masing sebelum mencapai limit waktu dan harus drop out.
“Iya,” jawabku, berupaya kalem. Aku menggandeng tangan Galuh yang kini berdiri di belakangku. Lalu, “Aku permisi, ya, Mbak.”
Sialnya, dia menahan tubuhku. Dia sengaja berdiri tepat di hadapanku dengan jarak yang begitu dekat.
“Ada apa?” tanyaku, benar-benar muak.
Mbak Mora masih tersenyum, dengan tampang sok polos itu. “Jadi hamilnya sama Rakabuming, nih? Banyak yang bilang kalau kamu punya hubungan spesial sama Megantara. Ya, katanya sih—Ini kata mereka ya, bukan aku.”
“To the point aja!” sahutku, mencoba menahan amarah meskipun ekspresi wajahku pasti sudah gelap. Aku juga tidak jago berpura-pura kalau dihadapkan dengan pecundang seperti dia dan gerombolannya.
Mbak Mora menyeringai tipis. “Katanya, kamu sengaja deketin Megantara dan godain dia supaya dapat cuan. Kita semua tahu, Megantaraa itu anak uang. Daripada Bumi, ya masih mending Megantara ke mana-mana. Punya segalanya.”
“Enggak semua cewek kayak kamu, Mbak,” potongku cepat sebelum dia meracau terlalu jauh. Tidak mengenakan juga diterima oleh saraf-saraf telingaku. Rasanya justru membuat dada panas.
Omongan sampah.
Dia memiringkan kepalanya, terlihat semakin menyebalkan. “Maksudnya apa, ya?”
“Bukannya kamu lagi ngomongin diri sendiri?” balasku, kemudian aku meloloskan tawa renyah untuk membuat dadanya juga panas. Maaf ya, tapi aku jago dalam urusan balas-dendam. Aku melanjutkan, “Kamu yang suka sama cowok berduit, kan? Dulu kan pernah booming tuh kabarnya, pas kamu coba deketin Megantara setelah tahu kalau dia anak salah satu diplomat terkenal.”
Dari sorot wajah dan senyum palsunya, kurasa Mbak Mora tengah menahan gejolak yang dia tahan mati-matian. Tak apa, semburkan saja amarahnya. Nanti kan kelihatan jelas siapa yang tidak bisa mengendalikan diri.
Dia masih menyerang, “Kalau kamu hamil anaknya Megantara, kamu bakal dapat warisan juga, Gizka. Apalagi Megantara adalah anak satu-satunya. Orang tuanya pasti senang banget kalau kamu menghasilkan cucu pertama di keluarga itu.”
“Aku bukan alat penghasil cucu, Mbak.” Dengan tenang, aku merapikan helai-helai rambut baruku yang tersapu angin. Diam sejenak untuk membuatnya kesal dan memakan egonya sendiri, lalu, “Aku bukan cuma digunakan untuk menghasilkan anak manusia. Perempuan juga punya banyak mimpi yang mau dia kejar. And for your information, aku bakal jadi single mother.”

KAMU SEDANG MEMBACA
BUMI & EVAKUASI
Fanfiction[Original Fiksi/🔞] - "Bukannya kamu yang bunuh dia? Kamu bilang, kamu mau membunuh orang itu untuk aku." (Brave Series #3) Jogja identik dengan hal-hal klasik, indah, dan romantis bagi banyak orang. Tapi, bagi Gizka, Jogja juga adalah rumah. Dia in...