15. Flashback: Gemini

640 77 48
                                        

✨✨

Januari 2018

Satu hari di tahun dua ribu delapan belas.

Aku masih dalam masa euforia karena perayaan tahun baruku kali ini berbeda dari biasanya. Kalau tahun-tahun sebelumnya, aku pasti akan merayakan tahun baru di rumah Mbah di Magelang.

Bakar-bakar ayam, ngobrol ngalor-ngidul, main dengan sepupu-sepupuku yang sudah lama tak saling sapa, dan ditutup dengan pertunjukan kembang api. Karena aku suka cahaya, bagian paling akhir adalah favoritku. Namun, tahun ini, aku tidak bermain kembang api. Lebih tepatnya, aku diberi pencerahan bahwa kembang api bisa merusak alam.

Semua ini terjadi ketika aku merayakan tahun baru dengan camping di Pantai Parangtritis bersama dengan teman-teman baruku, yang juga merangkap sebagai Kakak tingkat. Aku pernah bilang kan kalau aku mau menghindari Kakak tingkat? Namun, ternyata semesta punya kejutan lain. Kuperingatkan kepada kalian, hati-hati saat mengomel. Nanti kalian menjilat ludah sendiri seperti aku.

Sial.

"Enggak boleh main kembang api lagi," kata Mas Mischa, yang saat OSPEK Jurusan Hubungan Internasional bertugas sebagai Ketua Pelaksana.

Berkat dia juga, namaku sering dipanggil untuk maju ke depan. Aku juga tidak tahu apa alasannya. Kalau dipikir-pikir ya, aku seperti sengaja dipermalukan. Disuruh menyanyi lagu galau, membuat dan membaca puisi, joget baby shark, sampai diminta memberikan kritik-saran ke senior saat Inagurasi. Ya Tuhan, beruntung aku bisa melewati itu semua. Acara itu justru mirip seperti acara pencarian bakat, kan? Untung, aku tidak diminta memasak juga. Siapa tahu, Chef Juna tiba-tiba muncul dari belakang stage. Surprise!

Kalau itu benar terjadi, maka aku akan menggelindingkan tubuhku dari atas stage.

Serius, saat itu, aku rasanya mau menggunduli kepala. Namanya manusia biasa, kesabaranku kan juga ada batasnya. Lihat saja nanti, kuharap aku punya kesempatan untuk membalas perbuatan Mas Mischa. Menyebalkan sekali!

Mas Mischa menambahkan setelah menyeruput segelas kopi hitam, "Coba lo bayangkan kalau lo jadi langit, deh. Tiap tahun baru dibombardir kayak gitu sama ribuan, bahkan jutaan kembang api. Bukan cuma di sini, tapi di seluruh dunia. Kan, pasti sakit. Gue pernah kena kembang api pas kecil, dan rasanya panas. Untung langit buatan Tuhan, coba buatan manusia? Pasti udah sambat di twitter karena muak sama kembang api."

Aku yang semula protes karena tidak ada yang membawa kembang api ke sini--padahal aku sudah bersemangat sekali, melayangkan sebuah ekspektasi bahwa aku akan bermain kembang api di pinggir pantai, seketika terdiam.

Aku sebenarnya cukup keras kepala dan kurang penurut, tapi aku tidak bisa apa-apa. Selain karena omongan Mas Mischa ada benarnya, aku juga tidak mungkin mengajak seniorku untuk berdebat. Belum waktunya. Tunggu aku bukan mahasiswa baru lagi, maka aku akan mengajaknya debat dengan berani. Untuk saat ini, aku memilih untuk diam.

Aku masih dianggap anak bawang soalnya, jadi tidak berguna juga kalau aku mengeluarkan opiniku sekarang. Mereka pasti akan menggodaku habis-habisan, menganggapku sedang tidak serius. Namun, aku setuju kalau kembang api bisa mengotori langit dan menyebabkan polusi udara. Mungkin, aku harus mencari kesenangan lainnya saat tahun baru. Apa, ya? Makan sate ayam pinggir jalan sambil menghitung jam yang bergerak maju? Wah, sepertinya bukan ide yang buruk.

Kembang api bukan satu-satunya hal berkilau yang ada di dunia, kan?

Kalian mungkin penasaran, bagaimana aku bisa camping bersama senior-senior ini. Dalam arti sebenarnya, aku adalah satu-satunya mahasiswa baru di sini. Ada lima orang laki-laki dan dua orang perempuan, di mana aku sudah termasuk di dalamnya.

BUMI & EVAKUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang