#54

9K 622 7
                                    

Orang terdekatmu berpotensi lebih besar untuk menyakitimu

Fahri menyapu pemandangan sekitar. Sudah tiga puluh menit lamanya, gadis itu tak kunjung kembali dari toilet. Ia sangat berharap, untuk bisa berbicara dengan gadis yang di carinya selama tiga tahun terakhir.

"Cari apa? Fira?" tanya Galuh membuat Fahri tersadar.

Fahri menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Hehe, iya nih. Kemana perginya gadis itu?" tanyanya.

Elsa membuka ponsel, tertulis nama Fira di bagian depan layar. Gadis berinisial F itu memintanya untuk tidak memberi tahu Fahri, kalau dirinya sedang bersembunyi di dalam kamar Manda.

Fahri melirik ke arah Elsa yang sejak tadi terdiam, "Sa, tadi Fira datang ke sini bareng kamu, kan? Sekarang dia di mana?" tanyanya.
Elsa menggigit bibir bawahnya, "Nggak tau, tadz," dusta Elsa.

"Btw, sekarang kamu lanjut kuliah di mana?" tanya Fahri lagi.

"Di wonosobo, Ustadz." Elsa keceplosan, ia kemudian menutup mulut dengan telapak tangannya.

Inang menyenggol bahu Elsa, memberi protes akan keteledorannya. Kalau Fira tahu, ia pasti akan sangat marah pada Elsa. Padahal, sudah hampir tiga tahun mereka menyembunyikan keberadaan Fira pada siapapun, terutama Fahri.
Fahri manggut-manggut, "Oalah. Kalo Fira, sekarang dia di mana?"

Elsa bernapas lega, beruntung Fahri tidak tahu jika Fira satu Universitas dengan Elsa.
Elsa menggelengkan kepalanya, "Saya nggak tahu, tadz."

Kening Fahri mengerut, "Masa iya? Kalian kan sahabatnya, kok bisa-bisanya enggak tahu?" Fahri merasa curiga.

Elsa memutar bola matanya jengah, "Lagian, Ustadz kan udah nikah. Ngapain sih masih nanyain Fira terus?" cetus Elsa.

Inang mendekatkan mulutnya ke telinga Elsa, "Enggak sopan." bisiknya.

"Bodoamat."
Elsa menatap Fahri sinis, "Urusin aja tuh si Nanda," celetuk Elsa, kemudian berlalu dari tempat itu.

Fahri mencoba tersenyum, "Andai kalian tahu," gumamnya.

Tepukan ringan dari Galuh mendarat di pundak Fahri, "Sabar ya, Bro!"
Fahri memasukkan bibirnya ke dalam mulut lalu menganggukkan kepalanya.

Elsa membuka pintu kamar Manda, "Tau nggak, Fir? Tadi ustadz Fahri nanyain kamu," celetuknya.

Fira yang sedang bercermin pun menoleh ke arah suara, "Oh, ya? Terus kamu jawab apa?"
Elsa meringis, "Aku jawab nggak tahu."

Fira memanyunkan bibirnya, "Bagus." gumamnya, memberi pujian atas kepandaian Elsa dalam berbohong.

Elsa mendaratkan bokongnya di kasur Manda. Menyapu ruang kamar bercat warna kuning gading. Ia merasa terkejut saat mendapati banyak taburan bunga di atas kasur yang di dudukinya. Spontan, gadis itu mengalihkan tatapannya ke arah Fira, "Fira." panggilnya.

Dengan santai, Fira menoleh, "Apa?" tanyanya.

"Ini kamar pengantin." Mata Elsa melotot.
Fira lantas berdiri, "Astagfirullah."

"Ayo buruan keluar dari sini!" Sedetik kemudian, kedua gadis itu keluar dari kamar pengantin.

"Aku enggak mau ke sana. Enggak mau ketemu sama ustadz Fahri," tukas Fira dengan menatap tempat berlangsungnya acara pernikahan.

"Tenang aja, Manda sama Inang bentar lagi ke sini, kok." Elsa melihat ke arah ponselnya.
Fira manggut-manggut. Setelahnya mereka memilih untuk tetap berada di dalam dapur.
Selang lima menit, Manda dan Inang datang menghampiri mereka.

"Ayo, ke sana!" ajak Manda, ia masih mengenakan gaun pengantinnya.

Fira menggelengkan kepalanya, "Aku nggak mau." tuturnya lembut, "Aku mau pulang," lanjutnya.

"Tapi acaranya belum selesai, Fir." sanggah Elsa.

Mata Fira berkaca-kaca, "Aku enggak mau ketemu sama ustadz Fahri."

Ketiganya menatap Fira dengan tatapan iba. Sudah tiga tahun dirinya dan Fahri tidak berjunpa, ternyata tidak cukup untuk membuat gadis itu melupakan Fahri.

Manda tersenyum, "Ya, udah. Kalau kamu mau pulang, pulang aja enggak apa-apa."

Elsa dan Inang mengangguk setuju.

"Man, aku minta maaf ya," ujar Fira merasa bersalah.

Manda menggeleng, "Enggak papa."

Mereka berempat saling memeluk satu sama lain. Semenjak lulus, tiga tahun yang lalu, mereka sama sekali tidak pernah bertemu satu sama lain.

Mereka melepaskan pelukan, "Titip salam buat ustadz Galuh, ya! Aku sama Elsa pamit dulu."

Setelah berpamitan, Fira dan Elsa segera undur diri dari tempat itu. Bukan hanya karena kehadiran Fahri yang membuat mereka undur diri. Tetapi, karena waktu yang terus berjalan. Pihak pesantren hanya memberi waktu hingga sore hari. Beruntung, tidak ada jadwal kuliah hari ini.

Bayangan lelaki itu, seakan kembali muncul dalam benak seorang gadis yang tengah terduduk di samping jendela bus.

Fira tersenyum miring, mengingat semua kenangan yang pernah ia ukir di pesantren Nurul Qiyam tiga tahun lalu.

Ia merasa iba pada dirinya sendiri. Saat ini, Fahri sudah berbahagia dengan Nanda.

Sedangkan Fira? Gadis itu mati rasa hingga detik ini. Padahal, banyak teman kuliah, santri putra di pesantren barunya yang secara terang-terangan mengungkapkan perasaannya pada Fira. Namun, gadis itu selalu menolaknya dengan alasan belum siap untuk membuka hatinya kembali.

Sejak tadi, Elsa sudah bercerita banyak hal pada Fira. Namun, gadis itu tidak merespon sama sekali.

Elsa merasa kesal, "Fira! Diajakin ngomong dari tadi, kenapa diam aja, sih?" omelnya.

Fira masih terhanyut dalam lamunannya.

Elsa merasa geram, "Woy!" Menepuk pundak Fira.

Fira gelagapan, "Astagfirullah. Ada apa, sih?"

"Nyenyenyenye." Elsa menatap Fira intens.

Fira mengedikkan bahu, bersikap bodoamat. Elsa menghela napas, mencoba bersikap sabar dengan sikap Fira yang cuek, "Kamu masih cinta sama ustadz Fahri?"

Lidah Fira terasa kaku.

"Jujur aja," lanjut Elsa.

Fira mengangguk jujur, "I... iya," ungkapnya jujur.

Elsa tersenyum, "Iya, enggak papa, cantik. Belajar ikhlas, ya. Bismillah, kamu bisa lupain ustadz Fahri."

Fira manggut-manggut. Mata gadis itu berkaca-kaca. Ia memeluk Elsa seketika.

Elsa membalas pelukan Fira, "Kalau disuruh milih, kamu pengen kisah cintamu seperti Siti Fatimah dengan Ali yang mencintai dalam diam, atau seperti Siti Khadijah dan Rasulullah yang menyatakan cintanya secara terang-terangan?" tanya Elsa masih dalam pelukan.

Fira melepaskan pelukan, mengusap air mata yang sedari tadi menetes membasahi pipinya, " Aku ingin kisah cintaku seperti Zulaikha dan Nabi Yusuf. Saat Zulaikha mendekatkan dirinya pada Allah, Allah mengirim Nabi Yusuf untuk menjadi pendampingnya," jawabnya tersenyum.

Elsa tersenyum, "Aamiin."

USTADZKU IMAMKU (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang