#55

14.1K 742 93
                                    

"Ustadzah." Panggilan itu terlontar dari salah satu bibir santriwati.

Yang merasa dipanggil menoleh, "Iya? Ada apa, Fahma?" tanyanya.

"Ini buat, Ustadzah. Diterima, ya!" ucapnya, seraya menyodorkan sekantong plastik pada Fira.

Fira menerima barang pemberian santriwatinya, "Terima kasih, Fahma." Fira membuka kantong plastik itu, "Apa ini, Fahma?" tanyanya.

Fahma tersipu malu, "Itu jilbab buat, Ustadzah. Sebagai tanda terima kasih saya. Selama ini, Ustadzah telah memotivasi saya untuk tetap berada di sini. Sekarang, saya sudah betah di pesantren," jujurnya.

Fira tersenyum tulus, "Oalah. Sekali lagi, terima kasih. Kamu semangat belajarnya, ya!" cibirnya.

Fahma manggut-manggut, "Iya, Ustadzah. Saya pamit dulu, ya." Gadis itu mengecup tangan Fira, kemudian berlalu.

Fira masih tersenyum seraya menatap punggung anak didiknya yang perlahan mulai menghilang.

Tak terasa, kini dirinya sudah menyelesaikan kuliahnya, dan berhasil menjadi seorang hafidzah sejak satu tahun yang lalu.
Kini, usianya sudah menginjak dua puluh dua tahun. Setelah pendidikannya selesai, ia memilih untuk mengabdikan dirinya di pesantren At-Thohiriyah.

Fira berjalan untuk kembali ke komplek perumahan dewan guru. Ia memilih untuk tinggal satu rumah dengan Elsa. Pihak pesantren memberikan satu rumah untuk satu orang. Tetapi, Fira dan Elsa lebih memilih untuk tinggal berdua saja.

"Assalamualaikum." Knop pintu terbuka. Gadis itu masuk ke dalam rumahnya.

"Waalaikumsalam," jawab Elsa, gadis itu terlihat lebih dewasa dan berwibawa.

"Kamu enggak ada kelas, Sa?" tanya Fira pada Elsa yang tengah membaringkan tubuhnya di kasur.

"Ada, Fir. Nanti sore kelas diniyah."

"Oalah. Masih lama," sahut Fira sembari melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul satu siang.

Pandangan Elsa jatuh pada sekantong plastik di tangan Fira, "Itu apa?" tanyanya.

Fira mengangkat kantong plastik di tangannya, "Oh, ini. Ini dari murid aku."

Elsa merebutnya dari tangan Fira, lalu membukanya, "Wah, jilbabnya bagus. Dari siapa, sih?"

"Fahma, anak kelas sepuluh."

Elsa berpikir sejenak, "Oalah. Anak Jambi yang dulu sering nangis itu, kan? Gara-gara enggak betah."

Fira mengedikkan bahunya, "Mungkin."

"Ada yang di tanyakan?" tanya Fira pada anak didiknya, setelah menerangkan pelajaran Nahwu di papan tulis.

"Tidak, Ustadzah," jawab satu kelas kompak.
Fira manggut-manggut, kemudian mendaratkan bokongnya di kursi guru.

"Ustadzah Afanin, Fahma pingsan." teriak salah satu murid dengan nada cemas.

Fira berdiri dan menghampiri Fahma, "Fahma, bangun!" Ia mengoyak tubuh gadis yang tidak sadarkan diri.

Tidak ada tanggapan, gadis itu tak kunjung siuman. Fira segera membopong gadis itu menuju UKS, dan dibantu oleh murid yang lain.
Fira terpaksa meninggalkan ruang kelas, sekaligus mengakhiri pelajaran di kelas itu. Kini, ia berada di dalam UKS, menunggu Fahma yang tak kunjung sadar.

"Ustadzah Afanin," lirih Fahma yang masih terbaring lemah.

Di tempat yang sekarang, panggilan untuk gadis itu bukan lagi Fira, melainkan Afanin.

Fira yang sedang murajaahpun segera menutup mushafnya, lalu menghampiri Fahma, "Kamu sudah sadar? Bagaimana keadaanmu?" tanyanya.

"Saya kangen sama Ibu." Air mata keluar dari pelupuk matanya.

USTADZKU IMAMKU (Sudah Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang