Api di Bukit Menoreh
Buku 290 (Seri III Jilid 90)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
“Senang atau tidak senang, tetapi kita memang harus menunggu sampai sore nanti. Kita tidak dapat memaksa anak-anak ini mengatakan apa yang tidak mereka ketahui. Atau bukan menjadi wewenangnya untuk mengatakannya.”
“Aku menjadi tidak sabar lagi. Apa sebenarnya yang dikehendaki oleh Ki Argajaya? Bahkan ia telah mengirimkan seorang anak kecil dan seorang perempuan kemari?” geram orang bertubuh tinggi kekar itu.
“Ki Argajaya hanya ingin menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud apa-apa. Anak-anak menunjukkan satu sikap jujur dan tidak dibuat-buat, sedang seorang perempuan menampakkan niatnya untuk bersikap baik, damai dan tanpa kekerasan.”
“Itulah yang sangat licik,“ berkata orang yang lebih tua itu, “ia ingin berlindung di belakang isyaratnya itu untuk menutupi kesalahan yang telah dilakukan oleh anaknya. Untuk menghindari tanggung jawab, ia ingin dianggap jujur dan damai. Damai dalam keadaan seperti sekarang akan sama artinya dengan meletakkan tali di leher Kanthi. Setiap saat hal itu akan dapat menyeretnya dan membunuhnya.”
Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Bagaimanapun juga aku hargai niat baik Ki Argajaya. Aku berterima kasih bahwa ia telah mengirimkan utusan pagi ini untuk memberitahukan sore nanti akan datang utusan resmi.”
Orang yang bertubuh tinggi kekar itu berkata, “Ki Argajaya telah memanfaatkan kelemahan Kakang itu.”
Ki Suracala memandang orang yang bertubuh tinggi kekar itu sambil berkata, “Suradipa. Bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah yang kau katakan itu benar?”
Wajah orang itu menjadi merah. Katanya dengan nada keras, “Kakang tidak usah berkata seperti itu. Tidak akan ada gunanya sama sekali.”
“Dan kau tidak perlu memperlakukan anak-anak ini dengan caramu itu,“ sahut Ki Suracala.
Orang yang bertubuh tinggi kekar dan disebut Suradipa itu pun tiba-tiba membentak Glagah Putih, “Pergilah! Katakan kepada Argajaya. Jika ia mengirimkan orang kemari, sebaiknya mereka hanya membawa pesan satu kalimat. Jawaban dari pertanyaan, kapan pernikahan anaknya dan anak Kakang Suracala dilakukan. Itu saja. Jika mereka membawa cerita panjang lebar, maka semuanya itu tidak akan ada gunanya.”
Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih bertanya kepada Ki Suracala, “Apakah Ki Suracala akan memberikan pesan bagi Ki Argajaya?”
“Sampaikan salamku kepada Ki Argajaya dan keluarganya. Aku menunggu kehadiran utusannya sore nanti.”
“Terima kasih, Ki Suracala,“ sahut Glagah Putih, yang kemudian berkata selanjutnya, “jika demikian, kami akan mohon diri. Kami akan menyampaikan pesan Ki Suracala kepada Paman Argajaya.”
Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan segera bangkit berdiri dan meninggalkan pringgitan itu. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang mengikutinya. Seorang laki-laki yang berwajah garang, yang sehari sebelumnya melihat Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Sedang seorang yang lain adalah seorang laki-laki yang masih terhitung muda, serta seorang yang bertubuh pendek tetapi otot-ototnya nampak menjalari wajah kulitnya dari dahi sampai ke ujung jari-jari kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Historical Fictionsambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis