Api di Bukit Menoreh
Buku 309 (Seri IV Jilid 9)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Rara. Bukankah bukan kita, dan bukan pula Nyi Dwani, yang menentukan kapan aku akan terbujur diam tanpa menyapamu lagi? Kenapa kita harus menjadi gelisah?”
Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling memandangi wajah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, yang dilihatnya justru keduanya tersenyum-senyum saja.
Tetapi Glagah Putih tidak tersenyum sebagaimana keduanya.
“Sudahlah,” berkata Empu Wisanata, “sekarang tentukan waktunya. Pilih tempat yang mapan. Tepian Kali Praga memanjang dari ujung sampai ke ujung Tanah Perdikan ini.”
“Baiklah,” berkata Ki Saba Lintang, “aku berpendapat bahwa perang tanding itu dilakukan di malam hari agar tidak menjadi tontonan. Beberapa hari lagi bulan akan bulat. Adapun tepian yang dipilih adalah tepian di sebelah utara jalur penyeberangan selatan. Tepian itu luas dan sepi. Meskipun tidak terlalu jauh dari jalur penyeberangan, tetapi jarang sekali orang yang akan sampai ke tempat itu, karena tempat itu dilingkungi oleh semak-semak belukar, meskipun tepiannya sendiri bersih dan lapang.”
“Baik,” jawab Sekar Mirah, “pada malam bulan penuh, aku akan berada di tepian sebelah utara jalur penyeberangan selatan.”
“Aku hormati kesediaan Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “meskipun Nyi Lurah tidak bersedia mempertaruhkan tongkat perguruan, namun Nyi Lurah sudah menunjukkan kesungguhan Nyi Lurah dengan mempertaruhkan justru nyawa Nyi Lurah sendiri. Tetapi akhir dari perang tanding itu akan mempengaruhi sikap saudara-saudara seperguruan kita.”
“Bagiku, sikap saudara-saudara seperguruan itu tidak penting. Tetapi aku berpegang pada sikap bahwa orang lain tidak dapat semena-mena memaksakan kehendaknya kepadaku, apapun alasannya. Aku juga berpegang pada hak yang tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain, siapa pun mereka itu.”
Ki Welat Wulung memandang Sekar Mirah dengan sorot mata bagaikan menyala. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa pada waktu itu. Nyi Lurah Sekar Mirah itu sudah sepakat untuk berperang tanding melawan Nyi Dwani. Kesepakatan itu telah mengakhiri segala perselisihan yang terjadi.
Meskipun dalam keadaan yang sangat marah, Ki Welat Wulung setiap kali sempat memandang wajah lugu Rara Wulan. Gadis itu sangat cantik. Ki Welat Wulung bersyukur bahwa Rara Wulan akan ikut pergi ke arena perang tanding yang hanya akan disaksikan oleh enam orang yang lain.
Tiba-tiba saja di hati Ki Welat Wulung itu telah timbul harapan bahwa perang tanding itu akan meluas. Apa salahnya jika ia membuat persoalan baru setelah Nyi Dwani mengakhiri perlawanan Nyi Lurah Agung Sedayu? Tidak akan ada yang menyebut sebagai satu kecurangan. Nyi Dwani berperang tanding dengan bersih. Yang terjadi kemudian adalah timbulnya persoalan baru.
“Bukan salahku,” berkata Ki Welat Wulung di dalam hatinya, “salah gadis itu. Kenapa ia cantik. Agaknya tidak bersalah pula meskipun umurku jauh lebih tua dari gadis itu, tiba-tiba menginginkannya.”
Di luar sadarnya Ki Welat Wulung itu membayangkan, bahwa di tepian itu tidak hanya Nyi Lurah saja-lah yang akan terkapar mati. Tetapi juga ketiga orang saksi itu pun akan mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Ficção Históricasambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis