Api di Bukit Menoreh
Buku 325 (Seri IV Jilid 25)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Ad
Mangesthi menganggukkan kepalanya. Katanya, “Kau benar, Wiyati. Aku memang belum waktunya untuk meninggalkan padepokan ini.”
Demikianlah, Wiyati pun segera mempersiapkan dirinya. Kawan-kawannya pun segera mengerumuninya. Pada umumnya mereka mengucapkan selamat kepada Wiyati yang mendapat kesempatan untuk terjun langsung ke kancah perjuangan.
“Aku iri kepadamu, Wiyati,” berkata seorang kawannya.
“Semoga aku dapat menjalankan tugas ini dengan baik.”
“Kau tidak akan gagal, Wiyati. Kami para mentrik tahu, betapa keras hatimu dan betapa tinggi ilmumu.”
Wiyati tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas pujianmu. Tetapi yang lebih penting bagiku adalah doa kalian. Mudah-mudahan aku dapat melakukan sebagaimana yang harus aku lakukan.”
Demikianlah seperti yang direncanakan, maka setelah makan siang, Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati pun telah bersiap. Kuda-kuda mereka telah dipersiapkan pula untuk menempuh sebuah perjalanan yang panjang.
Beberapa orang mentrik telah menitikkan air mata. Demikian pula Wiyati. Betapapun keras hati mereka, tetapi menghadapi sebuah perpisahan, mata mereka pun menjadi basah juga.
Wiyati mencium Mangesthi di dua pipinya. Kemudian sembilan kawannya berganti-ganti.
Demikianlah, ketika matahari melewati puncaknya dan mulai turun ke barat, Ki Ambara, Ki Saba Lintang dan Wiyati telah siap untuk berangkat.
Para cantrik dan mentrik mengantar mereka sampai ke pintu gerbang padepokan kecil itu. Kemudian melepas mereka berangkat menempuh sebuah perjalanan panjang.
Para mentrik melambai-lambaikan tangan mereka. Perpisahan itu memang terasa sangat berat, setelah beberapa lama mereka berkumpul menimba ilmu di padepokan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang itu.
Demikianlah, perjalanan itu pun telah dimulai. Matahari yang membara di langit, panasnya terasa bagaikan membakar tubuh. Tetapi semilirnya angin terasa mengusap wajah mereka yang menempuh perjalanan panjang itu.
Seperti saat Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menuju ke padepokan itu, mereka menghindari jalan yang melewati padukuhan. Apalagi di siang hari. Mereka akan dapat menarik perhatian banyak orang di padukuhan itu.
Demikianlah, kuda mereka pun telah berlari di jalan yang berbatu padas. Semakin lama jalan yang mereka tempuh menjadi semakin sempit.
Ki Saba Lintang pun kemudian berkata kepada Wiyati, “Perjalanan ini bukan saja panjang, Wiyati. Tetapi kita akan memasuki jalan yang sulit. Jalan yang menurun, namun kemudian memanjat naik.”
Wiyati mengangguk.
“Jika kau merasa letih, katakanlah. Kita akan berhenti untuk beristirahat. Kuda-kuda kita pun perlu beristirahat pula.”
Wiyati mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Saba Lintang.”
“Aku berharap bahwa kita akan melewati jalan yang paling sulit sebelum gelap, sehingga kemudian kita tinggal menempuh jalan yang rata. Meskipun kadang-kadang masih juga naik dan turun, tetapi landai dan tidak berbahaya sama sekali.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Ficción históricasambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis