383

208 15 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 383 (Seri IV Jilid 83)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka semakin lama menjadi semakin tinggi. Pedang mereka berputar, menebas dan mematuk berganti-ganti. Bunga-bunga api pun menjadi semakin banyak terhambur dari benturan kedua senjata di tangan kedua orang Senapati yang berilmu tinggi itu.

Di sisi lain dari benturan kedua pasukan induk itu telah mempertemukan beberapa orang Senapati yang lain. Ki Tumenggung Panjer pun telah berhadapan dengan Ki Tumenggung Jayayuda yang memang sedang mencarinya. Ternyata Ki Tumenggung Jayayuda juga tidak melupakan kelicikan Ki Tumenggung Panjer, yang telah berusaha mencegatnya pada saat ia menyertai Ki Tumenggung Derpayuda menjadi utusan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati menghadap Kanjeng Adipati Demak.

“Satu kebetulan, Ki Tumenggung Panjer,” berkata Ki Tumenggung Jayayuda, “sudah sejak hari pertama aku ingin mencari Ki Tumenggung Panjer. Tetapi gelar perang Gedong Minep itu tidak menguntungkan. Kami seakan-akan hanya dapat menunggu kalian datang kepada kami. Tetapi sekarang kedudukan kami sudah berubah. Gelar kami bergerak, sehingga kesempatan untuk bertemu dengan Ki Tumenggung menjadi lebih luas. Meskipun kemudian aku tidak ikut berputar bersama pasukanku, tetapi para Senapati bawahanku tahu apa yang harus mereka lakukan.”

“Persetan kau, Tumenggung Jayayuda. Nampaknya kau terlalu yakin akan dapat mengalahkan aku.”

“Ya. Aku yakin,” berkata Ki Tumenggung Jayayuda.

“Jangan terlalu sombong. Kau akan menyesali kesombonganmu itu nanti. Sebaiknya kau bawa beberapa orang pengawal untuk bertempur melawan aku.”

Ki Tumenggung Jayayuda itu pun tertawa. Katanya, “Jangan sesumbar seperti itu, seolah-olah aku belum mengenalmu.”

Ki Tumenggung Panjer menggeram. Dengan garangnya Ki Tumenggung Panjer pun segera meloncat menyerang Ki Tumenggung Jayayuda

Pertempuran antara keduanya pun berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit pun seakan-akan sengaja membiarkan mereka bertempur seorang melawan seorang. Namun setiap kali terdengar sekelompok prajurit Demak serta sekelompok orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati bersorak-sorak. Apalagi jika Ki Tumenggung Jayayuda kebetulan berloncatan surut, sementara ujung senjata Ki Tumenggung Panjer memburunya.

Namun Ki Tumenggung Jayayuda sama sekali tidak tergetar. Bahkan kemudian para prajurit Mataram pun seakan-akan telah dijalari pula kebiasaan sebagaimana orang-orang Demak. Jika Ki Jayayuda berhasil mendesak lawannya, maka prajurit-prajuritnya pun bersorak-sorak pula.

Demikianlah, keduanya bertempur dengan sengitnya. Keduanya adalah Senapati linuwih. Karena itu maka pertempuran di antara keduanya pun bagaikan pertarungan dua ekor burung rajawali di udara. Mereka saling menyambar, saling mendesak, namun juga saling menghindar. Namun akhirnya ujung-ujung senjata mereka pun mulai berbicara. Ki Tumenggung Panjer terkejut ketika pedang Ki Tumenggung Jayayuda sempat menyentuh lengan Ki Tumenggung Panjer.

Ki Tumenggung Panjer itu meloncat surut. Sorak para prajurit di sekitar perang tanding itu pun terdengar bagaikan mengguncang mega-mega di langit. Namun dengan demikian kemarahan Ki Tumenggung Panjer pun telah mendidih di seluruh urat-urat nadinya. Ki Tumenggung Panjer itu pun kemudian menyerangnya seperti prahara.

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang