Api di Bukit Menoreh
Buku 393 (Seri IV Jilid 93)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Dengan wajah yang tidak nampak ceria, pelayan itu pun bertanya dengan kalimat-kalimat pendek, “Kalian mau pesan apa?”
Glagah Putihlah yang menjawab, “Wedang sere satu mangkuk dan nasi tumpang dua mangkuk, Ki Sanak.”
“Apa lagi?”
“Sudah.”
“Hanya itu? Kenapa wedang serenya hanya satu?”
“Cukup untuk dua orang, Ki Sanak.”
“Kalian telah tersesat memasuki kedai ini. Seharusnya kau beli saja nasi tumpang dan wedang sere di sebelah pintu gerbang pasar itu, sambil duduk lesehan di bawah pohon gayam. Kalian tidak perlu masuk ke dalam kedai ini untuk semangkuk wedang sere dan dua mangkuk nasi tumpang.”
“Tetapi bukankah di kedai ini ada nasi tumpang?”
Pelayan itu tidak menjawab. Sambil bersungut-sungut ia meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.
“Pesan apa mereka?” bertanya pemilik kedai, yang nampaknya juga kurang senang atas keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Apalagi ketika ia mendengar pesanan kedua orang itu, pemilik kedai itu pun mengumpat kasar.
“Segera hidangkan pesanan itu kepada mereka, agar mereka segera pergi.”
Pemilik kedai itu pun dengan cepat menyiapkan pesan Glagah Putih dan Rara Wulan. Kemudian pelayannya pun segera menghidangkan pula, agar kedua orang itu segera meninggalkan kedai itu.
Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak makan cepat-cepat. Mereka makan perlahan-lahan, sementara Rara Wulan berkata sambil tertawa tertahan, “Kakang hanya memesan semangkuk minuman. Itu pun hanya wedang sere.”
Glagah Putih pun tertawa pula.
Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar tidak menghiraukan orang-orang yang sedang berada di kedai itu pula. Mereka sadar bahwa beberapa orang sedang memperhatikan mereka. Tetapi mereka tidak peduli. Mereka makan saja seenaknya, dan bergantian mereka meneguk wedang sere dengan gula kelapa itu.
Namun akhirnya nasi mereka pun habis juga. Demikian pula minuman mereka. Agaknya seorang pelayan sangat memperhatikan mereka, karena demikian mereka selesai makan, pelayan itu segera datang kepadanya untuk mengambil mangkuk-mangkuk yang kotor itu.
Namun pelayan itu terkejut ketika Rara Wulan kemudian mengambil sekeping uang perak dari kampilnya dan memberikannya kepada pelayan itu.
Sejenak pelayan itu termangu-mangu. Namun kemudian pelayan itu pun segera pergi ke pemilik kedai itu sambil menyerahkan keping uang perak itu.
“Siapa yang membayar dengan uang perak ini?” bertanya pemilik kedai itu.
“Kedua orang yang memesan semangkuk wedang sere itu, Paman.”
“Jadi mereka mempunyai uang perak?”
“Tidak hanya satu. Ketika ia mengambil uang ini dari kampilnya, aku melihat ada beberapa uang perak di dalamnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Ficción históricasambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis