385

278 10 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 385 (Seri IV Jilid 85)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Tongkat baja putih yang berada di tangan orang itu ternyata tidak mampu menembus pertahanan ikat pinggang Glagah Putih.

Namun semakin lama mereka bertempur dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka, maka pertahanan mereka pun mulai merenggang. Sekali-sekali tongkat baja putih Ki Wiradipa serta ikat pinggang Glagah Putih mampu menembus pertahanan mereka masing-masing. Namun akhirnya, Ki Wiradipa itu pun harus mengakui kenyataan, bahwa serangan-serangan Glagah Putih mempunyai peluang lebih banyak untuk menyentuh tubuh Ki Wiradipa yang bertubuh tinggi, tegap dan bermata cekung itu.

Demikianlah, ketika ikat pinggang Glagah Putih menyentuh lengan Ki Wiradipa, maka kulit lengan Ki Wiradipa itu pun telah dilekati oleh tapak ikat pinggang itu sehingga menjadi merah kebiru-biruan. Dengan serta-merta Ki Wiradipa meloncat surut. Lengannya terasa menjadi sangat sakit. Bahkan rasa-rasanya tulang lengannya itu bagaikan menjadi retak. Ki Wiradipa mengumpat kasar. Ternyata orang yang masih terhitung muda itu mempunyai bekal ilmu yang sangat tinggi.

Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, Ki Wiradipa itu telah menghentakkan ilmunya. Namun Glagah Putih pun telah meningkatkan ilmunya pula. Sentuhan ikat pinggang Glagah Putih itu pun kemudian telah mengenainya lagi, tetapi dengan meninggalkan jejak yang berbeda. Ketika sisi ikat pinggang itu mengenai pundaknya, maka di pundak itu telah tergores luka seperti goresan pedang yang sangat tajam.

“Setan alas kau, Glagah Putih. Apakah yang sebenarnya kau genggam di tanganmu itu.”

“Bukankah kau tahu bahwa aku menggenggam sehelai ikat pinggang?”

“Dari iblis manakah kau dapatkan ikat pinggang itu.”

“Kalau aku anak iblis, maka ikat pinggang ini tentu aku warisi dari ayahku.”

Kemarahan Wiradipa tidak dapat dikendalikannya lagi. Ia pun segera berloncatan menyerang Glagah Putih.

Namun kemarahannya itu justru telah menyulitkan keadaannya. Karena kemarahannya itu, maka perhitungannya menjadi kabur. Dengan demikian maka serangan-serangannya menjadi tidak mapan. Apalagi orang itu masih belum benar-benar menguasai watak dan sifat tongkat baja putih yang berada di tangannya itu.

Karena itu maka semakin lama orang itu pun menjadi semakin terdesak. Ayunan tongkatnya menjadi semakin tidak terarah, hingga justru serangan-serangan Glagah Putih-lah yang menjadi semakin sering menembus pertahanannya.

Ternyata orang itu semakin lama menjadi semakin gelisah. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu telah memberikan isyarat dengan suitan nyaring. Dari antara mereka yang sedang bertempur dengan sengitnya itu, telah muncul seseorang yang nampaknya mirip dengan orang yang memegang tongkat baja putih itu. Ia juga seorang yang bertubuh tinggi, tegap dan berdada bidang. Wajahnya pun mirip sekali, bahkan matanya pun nampak cekung dan dalam. Tetapi orang itu nampak sedikit lebih muda dari Ki Wiradipa.

Ketika orang itu muncul dengan tiba-tiba, maka dua orang prajurit Mataram mencoba menghalanginya. Namun pertempuran di antara mereka tidak berlangsung lama. Kedua orang prajurit Mataram itu pun segera terdesak. Bahkan ketika datang dua orang prajurit Mataram yang lain, maka mereka pun telah terlempar dari arena. Seorang di antara mereka tidak segera dapat bangkit karena punggungnya menjadi sangat kesakitan. Seorang lagi lengannya serasa patah. Sedang kedua orang yang lain, sama sekali tidak berdaya. Seorang di antara mereka pun terbanting dan menjadi pingsan, sedang yang lain jatuh terlentang ketika kaki orang itu mengenai dadanya.

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang