342

331 16 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 342 (Seri IV Jilid 42)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

“Tentu saja aku tidak dapat melimpahkan ilmuku hanya dengan meraba ubun-ubun kalian berdua. Karena itu, supaya hidupku berbekas, aku minta sudilah kalian berdua mempelajari ilmuku, yang mudah-mudahan dapat melengkapi ilmu kalian berdua.”

“Darimanakah sumber ilmu Ki Ageng Puspakajang?”

“Aku mempelajarinya dari berbagai perguruan. Meramunya dan kemudian memeras inti sarinya. Jika yang kau tanyakan apakah ilmuku itu putih atau hitam, itu tergantung kepada manusia yang memilikinya. Aku yakin, ilmu itu di tanganmu akan menjadi ilmu yang berarti bagi orang banyak. Justru pengabdian yang belum pernah aku lakukan dengan ilmuku itu. Semoga jika ilmuku kau pergunakan untuk mengabdi kepada sesama serta memuliakan nama-Nya, akan dapat sedikit memberikan arti pada hidupku.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Bagaimana caraku mempelajari ilmu Ki Ageng?”

“Pada ikat pinggangku yang rangkap, terdapat beberapa lembar rontal. Tetapi aku pesankan, jika kau tidak memerlukannya, hancurkan saja rontal itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang yang lebar itu. Namun Glagah Putih masih saja merasa ragu akan ketulusan hati Ki Ageng Puspakajang. Glagah Putih masih belum dapat mengkesampingkan kecurigaannya terhadap orang yang baru saja bertempur melawannya itu.

Namun dengan suaranya yang semakin lemah Ki Ageng Puspakajang itu berkata, “Glagah Putih. Mungkin aku seorang yang licik, yang banyak melakukan kejahatan. Tetapi menjelang kematian, aku ingin berkata jujur. Ambillah ikat pinggangku. Di dalamnya terdapat sebuah rontal yang akan berarti bagi banyak orang jika rontal itu ada di tanganmu. Tetapi sekali lagi aku pesankan, jika kau tidak memerlukannya, rontal itu harus kau hancurkan. Rontal itu tidak boleh jatuh ke tangan seseorang seperti aku. Apalagi seseorang seperti Pandunungan. Kau mengerti?”

“Aku mengerti, Ki Ageng.”

“Ambil ikat pinggangku. Kau dapat membawanya pulang. Lihat isinya. Kau akan mendapatkan beberapa petunjuk yang akan membuka kemungkinan bagimu untuk melengkapi ilmu yang sudah kau miliki.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara suara Ki Ageng Puspakajang menjadi semakin lemah, “Glagah Putih. Aku dapat dipercaya pada saat terakhir dari hidupku.”

Glagah Putih bergeser mendekat. Suara Ki Ageng Puspakajang semakin tidak terdengar, “Salamku buat istrimu. Ia akan menjadi seorang perempuan yang tidak ada duanya.”

Suara Ki Ageng Puspakajang itu menjadi semakin perlahan. Sekilas nampak senyum di bibirnya. Kemudian matanya pun tertutup, serta nafasnya pun terputus. Ki Ageng Puspakajang itu pun meninggal.

Ki Wiratama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia seorang yang berilmu sangat tinggi. Kami bertumpu kepadanya. Kami yakin ia akan dapat menyelesaikan rencana kami, mengambil padepokan ini. Tetapi Ki Ageng telah terbunuh oleh anak-anak.”

“Sekarang, apa yang akan kau lakukan?”

“Bukankah aku sudah menyerah sejak tadi?”

“Bagaimana dengan yang lain?”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang