338

396 13 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 338 (Seri IV Jilid 38)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Ad

Pemilik sawah itu pun termangu-mangu. Namun kemudian ia berdesis, “Mudah-mudahan.”

Orang-orang yang pergi ke sawah itu pun kemudian meninggalkan tempat itu, kecuali pemilik sawah itu sendiri. Sedang seorang yang lain, yang ketika ditemui pemilik sawah itu sudah bersiap pergi ke sawahnya, langsung pergi ke sawahnya yang tidak terlalu jauh lagi.

Namun peristiwa itu menjadi pembicaraan ramai di padukuhan. Berita tentang sepasang hantu itu pun segera tersebar. Banyak orang yang menganggap bahwa kehadiran sepasang hantu itu benar-benar telah terjadi.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berjalan semakin jauh dari gubug yang telah menimbulkan keributan itu. Mereka telah melewati bulak-bulak panjang dan beberapa padukuhan ketika matahari menjadi semakin tinggi. Sinarnya terasa menjadi semakin tajam menusuk kulit.

Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan terus di panasnya sinar matahari. Setiap kali mereka memasuki bayangan dedaunan yang rimbun dari pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan, maka terasa betapa kesejukan mengusap tubuh mereka.

Demikian pula ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang besar. Padukuhan yang nampaknya tenang. Anak-anak bermain dengan riangnya di jalan-jalan padukuhan. Mereka tidak merasa betapa panasnya udara.

Di depan beberapa regol halaman rumah, terdapat gentong berisi air bersih yang memang disediakan bagi para pejalan kaki yang kehausan.

“Kita sekarang kemana, Kakang?”

“Bukankah tujuan kita tidak pernah berubah? Kita pergi ke Wirasari, di seberang Kali Lusi.”

“Masih jauh?”

Glagah Putih mengangguk.

“Perjalanan kita selama ini tersendat, Kakang. Ada-ada saja yang menghambat.”

“Sejak semula kita berniat untuk tidak mencampuri urusan orang lain, agar perjalanan kita rancak. Tetapi kadang-kadang kita tidak dapat menutup mata, jika kita bertemu dengan peristiwa-peristiwa yang bertentangan dengan rasa keadilan kita.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah Ki Saba Lintang masih berada di Wirasari?”

“Kita tidak tahu, Rara. Tetapi kita akan mencoba mencarinya di Wirasari.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Ketika kemudian mereka keluar dari padukuhan itu, maka rasa-rasanya permukaan jalan di hadapan mereka itu menguap. Udara nampak bergetar seperti uap air yang mendidih.

Demikianlah, mereka berdua menempuh perjalanan yang berat. Sekali-sekali mereka berhenti di kedai untuk makan dan minum. Di sore hari mereka berendam di air sungai, selagi masih ada cahaya matahari yang dapat mengeringkan pakaian mereka yang mereka cuci.

Rasa-rasanya tidak ada lagi hambatan di perjalanan mereka. Ketika malam turun, mereka bermalam di banjar sebuah pedukuhan kecil yang tanahnya nampak kering dan tandus. Meskipun demikian, para penghuni padukuhan itu ternyata adalah orang-orang yang ramah.

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang