Api di Bukit Menoreh
Buku 367 (Seri IV Jilid 67)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Orang yang terbaring itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah tidak berdaya lagi untuk melawan. Sementara kawannya masih saja berdiri diam di kubangan berlumpur itu.
Sementara itu dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah kehilangan kesempatan mereka. Senjata mereka telah terlepas dari tangan. Sedangkan tulang-tulang mereka rasa-rasanya telah berpatahan.
“Sudah aku katakan,” berkata Rara Wulan kemudian, “bahwa kami-lah yang akan membunuh kalian. Bukan kalian yang akan membunuh kami. Tuduhan kalian bahwa kami adalah orang-orang upahan dari orang-orang Prancak, sangat menyakitkan hati. Aku mempunyai uang lebih banyak dari uang orang-orang Prancak. Aku pun tidak mempunyai sangkut paut dengan perselisihan kalian dengan orang-orang Prancak. Tetapi justru kalian telah menuduh kami menjadi telik sandi, dan bahkan kalian sudah dengan sungguh-sungguh, bukan sekedar ancaman, akan membunuh kami. Maka kami pun benar-benar akan membunuh kalian berempat.”
Keempat orang yang kesakitan itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja orang yang mengaku Jagabaya Babadan itu berteriak, “Anak-anak! Lari ke padukuhan! Bunyikan kentongan dan beritahukan apa yang terjadi di sini. Dua orang telik sandi dari Prancak berada di bulak ini.”
Anak-anak itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka pun menghambur berlari ke padukuhan.
“Kau akan mati dicincang oleh orang-orang Babadan,” geram Ki Jagabaya.
Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, “Mereka tidak akan dapat menangkap kami. Bukankah kalian sudah menyediakan dua ekor kuda buat kami berdua?”
“Setan alas.”
“Kami akan membunuh kalian, kemudian meninggalkan kalian di sini. Nanti orang-orang Babadan akan datang untuk mengambil mayat-mayat kalian dan menguburkannya.”
Kemarahan keempat orang itu membayang di sorot matanya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika orang yang menyebut dirinya Jagabaya Babadan itu berusaha untuk bergeser, maka dengan cepat Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar dan menyambar kening orang itu, sehingga orang itu terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terpelanting ke dalam parit di pinggir jalan.
Ketika ia merangkak keluar dari dalam parit, maka pakaiannya yang kotor itu pun menjadi basah kuyup. Debu pun semakin banyak melekat, sehingga pakaiannya itu tidak dapat dikenali warnanya lagi.
Dalam pada itu, anak-anak remaja yang berlari-lari ke padukuhan telah memasuki pintu gerbang. Mereka pun segera pergi ke banjar untuk melaporkan apa yang terjadi di bulak.
Sejenak kemudian, maka suara kentongan pun segera berkumandang. Meskipun di siang hari, namun yang terdengar adalah suara kentongan dalam irama titir.
Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak nampak menjadi gelisah atau cemas. Meskipun suara kentongan telah menjalar sahut-menyahut, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berada di bulak itu.
Namun ketika mereka melihat orang-orang Babadan berlari menuju ke arah mereka, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun melangkah dengan tenangnya ke arah dua ekor kuda yang ditambatkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Historical Fictionsambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis