365

280 12 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 365 (Seri IV Jilid 65)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Namun Glagah Putih bertahan untuk tidak segera tidur. Ia menunggu orang-orang yang berada di banjar itu kembali ke penginapan. Mungkin orang yang berada di bilik sebelah akan berbicara serba sedikit tentang kelompok mereka yang sedang berada di Seca itu.

Glagah Putih memang harus bersabar. Sementara itu, suara gamelan masih saja terdengar di pringgitan melantunkan lagu-lagu ngelangut.

“Apakah mereka akan berada di banjar semalam suntuk?” desis Glagah Putih.

Namun ternyata beberapa saat kemudian, ia mendengar beberapa orang memasuki penginapan itu. Ada di antara mereka yang sama sekali tidak menghiraukan keadaan di sekitarnya, sehingga di dini hari, mereka berbicara tanpa mengendalikan diri.

“Kalian tidak berada di rumah kakekmu sendiri,” terdengar suara Ki Sela Aji. “Bukankah Ki Murdaka sudah mengatakan, bahwa ia tidak senang kepada orang-orang yang mabuk serta yang melakukan perbuatan-perbuatan tercela lainnya? Ia ingin orang-orang Kedung Jati bersih di mata orang-orang Seca. Dengan demikian, jika saatnya kita memasuki lingkungan ini, kita akan tetap dihormati sebagai murid-murid dari sebuah perguruan besar dan bertanggung jawab.”

Orang-orang itu memang terdiam. Nampaknya mereka pun segera menebar dan memasuki bilik mereka masing-masing. Namun sesaat kemudian, terdengar lagi mereka berbicara terlalu keras, sehingga terdengar dari seluruh penginapan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Keberadaan orang-orang Ki Saba Lintang di penginapan itu memang akan dapat menimbulkan persoalan dengan beberapa orang lain yang juga menginap di penginapan itu, karena mereka ternyata telah mengganggu ketenangan di malam yang sudah terlalu dalam itu.

Namun sejenak kemudian, Glagah Putih mendengar dua orang memasuki bilik sebelah. Agaknya seorang di antara mereka adalah Ki Sela Aji.

“Paman Demung Pugut,” terdengar suara Ki Sela Aji, “orang orang gila itu agaknya sangat sulit dikendalikan. Agaknya mereka sudah terbiasa berbuat sekehendak hati mereka.”

“Padahal kita sudah memilih, Ki Sela Aji. Kita sudah memilih orang-orang yang terbaik. Tetapi orang-orang yang terbaik itu pun masih juga menyusahkan kita.”

“Kita harus bertindak lebih keras lagi, Paman. Jika perlu kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka.”

“Kita memang harus bersabar. Jika kita akan memperlakukan mereka sebagaimana Ki Murdaka, mungkin sekali mereka justru mulai menentang kita.”

“Mereka tidak akan berani. Jika ada yang berani, aku akan menantangnya dan membuatnya menjadi jera.”

Orang yang disebut Demung Pugut itu menarik nafas panjang.

Namun dalam pada itu, terdengar ketukan pintu yang keras sekali di bilik yang terletak di sayap kiri penginapan itu.

“Paman Demung Pugut mendengarnya?”

“Ya.”

“Apa yang terjadi?”

Namun sebelum Ki Demung Pugut menyahut, terdengar seseorang berkata lantang, “Diam! Diam kalian. Kalian mengganggu ketenangan malam ini.”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang