Api di Bukit Menoreh
Buku 292 (Seri III Jilid 92)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
Demikian Wikan itu tegak berdiri, maka lawannya yang lebih kecil itu segera menyerangnya. Tetapi lawannya itu menjadi semakin berhati-hati agar ia tidak lagi dapat disekap oleh tangan Wikan. Karena itu, maka anak itu telah berusaha menyerang dengan cepat kemudian menjauhinya dengan cepat pula.
Demikian Wikan tegak berdiri, maka lawannya yang kecil itu pun telah meloncat. Kakinya terjulur dengan derasnya mengarah ke dada Wikan.
Wikan yang baru saja berdiri tegak itu terkejut. Tetapi ia tidak sempat berbuat banyak. Kaki itu benar-benar telah mengenainya. Demikian kerasnya sehingga Wikan itu terdorong surut.
Ternyata lawannya yang marah itu tidak memberinya kesempatan. Anak itu telah meloncat memburunya. Dalam keadaan goyah, maka serangan anak itu telah mendorongnya. Satu pukulan yang keras mengenai kening Wikan.
Wikan tidak dapat mengelak. Pukulan itu telah membuatnya menjadi pening. Tetapi Wikan tidak terjatuh karenanya. Meskipun ia menjadi terhuyung-huyung, tetapi Wikan itu tetap mampu bertahan berdiri diatas kakinya.
Namun lawannya benar-benar tidak mau memberikan kesempatan.
Kemarahannya tidak lagi membuatnya sempat menahan diri. Dengan sekuat tenaganya, anak itu telah menyerang lagi dengan kakinya mengenai perut Wikan.
Serangan itu demikian kerasnya, sementara Wikan masih belum sempat memperbaiki keseimbangannya, sehingga Wikan telah terjatuh lagi di atas pasir tepian.
Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu sama sekali memang tidak mau memberinya kesempatan. Demikian Wikan berusaha untuk bangkit, maka anak itu pun segera menyerangnya. Bahkan beberapa kali, sehingga Wikan benar-benar tidak sempat untuk berdiri.
“Curang! Kau curang!“ teriak Wikan. Suaranya bergetar tinggi.
Untuk beberapa saat Wikan itu masih tetap berbaring, karena ia memang tidak mendapat kesempatan untuk berdiri. Lawannya yang kecil itu seakan-akan menungguinya dan siap untuk menyerang setiap saat.
Yang dicemaskan Pinang itu terjadi. Wasis yang berdiri di atas tanggul itu pun segera meloncat turun. Dengan kasar ia membentak-bentak, “Kau curang anak iblis! Sebelum ia berdiri, kau tidak boleh menyerang.”
“Aku sudah menunggu ia berdiri,” jawab lawan Wikan itu.
“Tetapi ia belum sempat berdiri tegak,” geram Wasis.
“Suruh ia berdiri,” jawab anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu, “aku menunggunya.”
Tetapi Glagah Putih sudah mendekatinya. Sambil memegangi pergelangan tangan anak itu, maka ia berkata, “Sudahlah. Kau masih harus menyelesaikan pekerjaanmu, menggiring ikan itu masuk ke dalam air.”
“Aku tidak akan lari,” jawab anak itu, “jika ia masih ingin berkelahi, aku akan berkelahi.”
“Biar mereka menyelesaikan perkelahian itu,“ sahut Wasis, “tetapi anak itu pantas mendapat hukuman lebih dahulu karena kecurangannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Fiksi Sejarahsambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis