373

340 14 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 373 (Seri IV Jilid 73)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

“Aku mengerti,” Glagah mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Bagaimana menurutmu, Rara?”

“Kita segera kembali ke Banyudana, Kakang. Kita akan melihat rumah Wiraraja yang berada di belakang banjar. Mudah-mudahan kita tidak menemukan hal-hal yang tidak wajar di rumah itu.”

“Baik, Rara. Aku setuju.”

Keduanya pun kemudian segera melangkah kembali ke Banyudana. Mereka kembali dengan sangat berhati-hati. Mereka menghindari jalan-jalan yang banyak dilalui orang. Tetapi mereka memilih berjalan melewati pematang, lorong-lorong sempit dan jalan setapak. Begitu panen berakhir, maka sawah pun seakan-akan menjadi tanah yang gundul. Jerami pun telah dibabat dan dibakar.

Di sebelah padukuhan telah dipasang gawar melingkar. Tempat itu telah dipilih untuk menyelenggarakan tari tayub untuk meramaikan upacara merti desa. Sedang di malam berikutnya akan diselenggarakan tari topeng.

“Tari tayub mempunyai arti tersendiri bagi rakyat yang sedang melakukan upacara pernyataan terima kasih karena panenan mereka berhasil,” berkata Glagah Putih.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di padukuhan kembali. Dengan sangat berhati-hati mereka pun menyelinap masuk ke halaman rumah di belakang banjar.

Namun ternyata keduanya menjadi sangat terkejut. Rumah itu memang rumah orang yang menyebut dirinya Wiraraja. Namun sikapnya telah menjadi jauh berbeda. Wiraraja yang tinggal di rumah itu, sifat dan wataknya sangat berbeda dengan Wiraraja yang dikenalnya di kedai itu. Wiraraja yang tinggal di rumah itu adalah seorang yang garang. Kata-katanya memancarkan kesungguhan sikapnya. Keras dan bahkan kasar. Ia bukan seorang yang suka bercanda, tetapi ia adalah seorang yang tidak berjantung.

Dengan tegas Wiraraja itu memberikan perintah-perintah kepada beberapa orang yang ada di rumahnya. Namun perintah-perintah itu pun sangat mengejutkan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ternyata Wiraraja adalah seorang yang telah dikirim oleh kelompok yang menyebut dirinya Perguruan Kedung Jati. Wiraraja pula-lah yang telah mengatur, siapakah yang berperan sebagai perampok dan siapakah yang berperan sebagai pahlawan.

Demikian keduanya mengetahui betapa liciknya Wiraraja, maka Glagah Putih pun segera menggamit Rara Wulan dan memberinya isyarat untuk meninggalkan halaman rumah itu.

“Permainan yang sangat menarik,” berkata Glagah Putih setelah ia keluar dari lingkungan halaman rumah Wiraraja.

“Ya, Kakang. Sungguh suatu permainan yang menyenangkan. Besok lusa adalah hari merti desa. Nanti malam mereka akan merampok rumah Ki Bekel, karena mereka mengira bahwa uang yang dipergunakan untuk biaya merti desa itu sudah berada di rumah Ki Bekel.”

“Itu tidak penting. Yang penting bahwa kekacauan itu telah terjadi. Kemudian orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu datang sebagai pahlawan yang menyelamatkan rakyat Banyudana dari perampokan itu.”

“Ya. Apa yang sebaiknya kita lakukan, Kakang? Apakah kita akan membiarkannya.”

“Kita harus berhati-hati, Rara. Untuk sementara kita tidak harus ikut campur, karena rakyat Banyudana tidak benar-benar akan mengalami perampokan. Ceritanya, uang itu tentu akan diselamatkan.”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang