Api di Bukit Menoreh
Buku 348 (Seri IV Jilid 48)
admin
11 tahun yang lalu
Iklan
“Terima kasih, Kakang,” sahut Rara Wulan, “kami ingin sekali untuk dapat ikut pergi ke Demak. Aku memang belum pernah ke Demak. Selain itu, mungkin kami akan mendapat kesempatan bertemu lagi dengan Ki Saba Lintang.”
Malam itu, Rara Wulan menjadi gelisah. Ia benar-benar ingin dapat pergi ke Demak. Nalurinya mengatakan bahwa Ki Saba Lintang akan memanfaatkan pergeseran itu.
Di keesokan harinya, Agung Sedayu bersiap lebih pagi dari biasanya. Ketika ia berangkat ke baraknya, iapun berkata, “Nanti aku akan pergi ke Mataram. Mungkin aku pulang terlambat.”
“Baik, Kakang,” jawab Sekar Mirah.
Ketika Agung Sedayu berangkat, maka Glagah Putih melepasnya di regol halaman, sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan berdiri di tangga pendapa rumahnya.
Demikian Agung Sedayu sampai ke baraknya, maka iapun telah menunjuk dua orang prajuritnya untuk menyertainya pergi ke Mataram.
“Apakah Ki Lurah di panggil menghadap?”
“Tidak. Tetapi aku ingin mendengar tentang keberangkatan Pangeran Puger ke Demak.”
Demikian matahari mulai memanjat naik, maka Agung Sedayu serta dua orang prajuritnya telah memacu kudanya ke Mataram. Seperti biasanya, Agung Sedayu tidak langsung menemui para Panglima dan Senapati di Mataram, tetapi Agung Sedayu langsung menuju ke rumah Ki Patih Mandaraka.
Ketika Agung Sedayu memasuki regol halaman Kepatihan sambil menuntun kudanya, maka dilihatnya kuda Ki Patih Mandaraka sudah siap di depan pendapa.
“Ki Patih sudah akan pergi?” bertanya Agung Sedayu kepada prajurit yang bertugas, yang sudah dikenalnya dengan baik.
“Ya. Ki Patih sudah memerintahkan menyiapkan kudanya. Tetapi Ki patih sendiri belum nampak keluar.”
“Apakah masih mungkin aku menghadap?”
“Akan aku coba menyampaikan kepada petugas di dalam istana.”
Ketika lurah prajurit yang bertugas itu menemui Narpacundaka yang berada di serambi samping, maka Narpacundaka itu pun berkata, “Coba, aku sampaikan saja permohonan Ki Lurah Agung Sedayu itu.”
Agung Sedayu adalah seorang prajurit yang khusus bagi Ki Patih Mandaraka. Karena itu, ketika Napacundaka itu menyampaikan kepadanya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu akan menghadap, maka Ki Patih itu berkata, “Bawa Ki Lurah itu keserambi. Aku akan memberikan waktu sedikit kepadanya.”
Agung Sedayu pun menyadari bahwa KI Patih tentu tidak mempunyai banyak waktu. Karena itulah maka iapun langsung kepada persoalannya, “Ki Patih, apakah Kanjeng Pangeran Puger akan segera berangkat dalam waktu dekat ini?”
“Ya. Hari ini kami akan membicarakan keberangkatan Kanjeng Pangeran Puger.”
“Apakah akan dilakukan pengawalan yang baik bagi iring-iringan keluarga Kanjeng Pangeran Puger?”
“Kenapa kau bertanya seperti itu Ki Lurah?”
“Ki Patih. Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan belum berhasil mengambil tongkat baja putih itu dari tangan Ki Saba Lintang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Api di Bukit Menoreh seri Ketiga
Narrativa Storicasambungan dari seri pertama dan seri kedua dimulai sari bagian 286 dan seterusnya sampai kuota tulisan habis