382

311 16 0
                                    

Api di Bukit Menoreh

Buku 382 (Seri IV Jilid 82)

 admin

11 tahun yang lalu

Iklan

Ki Patih Mandaraka tertawa. Ki Patih pun kemudian berkata kepada Kanjeng Pangeran Puger, “Wayah, bagaimana sikap yang akan Wayah ambil? Aku tahu bahwa di sekitar Wayah sekarang terdapat orang-orang pintar seperti Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Panjer, serta beberapa orang Narpacundaka serta para pemimpin yang lain, yang mempunyai sikap dan pandangan yang berbeda dengan tatanan dan paugeran yang ada. Tetapi aku yakin bahwa Wayah Pangeran Puger bukan seorang Pangeran yang kehilangan pegangan sehingga tidak lagi mengenali tatanan dan paugeran.”

“Ampun, Kanjeng Adipati,” berkata Ki Tumenggung Gending, “hamba tidak dapat dipaksa untuk berdiam diri seperti patung di pertemuan seperti ini. Karena itu maka dibenarkan atau tidak dibenarkan, hamba ingin mendukung pendapat Ki Tumenggung Panjer. Mungkin cara hamba berbicara agak berbeda. Tetapi tegasnya, sikap Kanjeng Adipati tidak akan berubah.”

“Ki Adipati Gending,” sahut Pangeran Singasari, “Paman Patih Mandaraka berbicara dengan Anakmas Pangeran Puger. Karena itu kau tidak usah memotong pembicaraan itu.”

“Aku adalah seorang yang dituakan di sini. Selama ini Kanjeng Adipati selalu mendengarkan pendapatku dan pendapat Ki Tumenggung Panjer.”

Tetapi Ki Patih Mandaraka seakan-akan tidak mendengar semua kata-kata Ki Tumenggung Gending dan bahkan Ki Tumenggung Panjer. Karena itu maka Ki Patih Mandaraka itu pun berkata, “Wayah Pangeran, segala keputusan ada di tangan Wayah. Segala perintah Wayah akan ditaati oleh setiap prajurit di Demak.”

“Tetapi di dalam pasukan Demak tidak hanya terdiri dari para prajurit Demak. Di dalam pasukan Demak juga terdapat para murid dari perguruan terbesar yang murid-muridnya tersebar di seluruh Tanah ini, bahkan sampai ke Bang Wetan, Pesisir Lor dan tlatah-tlatah yang lain,” sahut Ki Tumenggung Gending.

Tetapi Ki Patih masih saja tidak menghiraukannya. Katanya, “Karena itu, Wayah, marilah. Aku mengemban perintah Wayah Panembahan Hanyakrawati untuk memanggil Wayah Pangeran Puger untuk menghadap. Wayah Panembahan Hanyakrawati ingin berbicara langsung dengan Wayah Pangeran Puger.”

Wajah Kanjeng Pangeran Puger menjadi sangat tegang. Rasa-rasanya Pangeran Puger itu berdiri di persimpangan jalan, yang kedua-duanya menuju ke pusaran angin prahara yang akan menggilasnya dan melemparkannya ke dalam kegelapan. Dalam keadaan yang kalut itu, terdengar suara Ki Tumenggung Gending, “Kanjeng Adipati sudah tidak mempunyai pilihan.”

Kemudian Ki Tumenggung Panjer pun berkata, “Di luar menunggu Ki Saba Lintang, yang telah membawa seluruh kekuatannya ke dalam pasukan Demak. Mereka-lah yang akan menggilas kekuatan Mataram yang tidak seberapa banyaknya itu. Apalagi kita yakin bahwa secara pribadi, para murid dari Perguruan Kedung Jati memiliki kelebihan dari para prajurit Mataram.”

Kanjeng Adipati Demak benar-benar menjadi sangat bingung. Angin prahara itu rasa-rasanya semakin besar dan semakin dekat, sehingga akhirnya dari kedua sisi jalan simpang itu datang bergulung-gulung badai yang sangat dahsyat.

Kanjeng Pangeran Puger itu seakan-akan telah kehilangan pegangan. Namun tiba-tiba saja Pangeran Puger itu pun berkata, “Eyang Patih Mandaraka, Paman Pangeran Singasari dan Dimas Raden Mas Kedawung. Aku sudah kehilangan diriku sendiri.”

Api di Bukit Menoreh seri KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang